Friday 7 September 2012

halak batak do ho? (3)

Nama adalah sebuah kumpulan huruf yang sangat bermakna bagi masyarakat Batak Toba. Hampir setiap nama yang diberikan kepada seorang Batak Toba, memiliki kisah yang terlalu indah untuk dilupakan. Nama  juga adalah sesuatu yang sakral bagi masyarakatku, khususnya setelah menikah. Adalah sesuatu yang sangat tabu untuk menyebut atau memanggil nama orang yang telah menikah walaupun dia  lebih muda dari kita. Apabila sudah mengalami pubertas, biasanya  yang saling bersaudara kandung  akan berhenti memanggil nama satu sama lain, yang digantikan dengan menyebut "ito". Di keluargaku sendiri, kami sangat didoktrin dengan sangat tegas untuk tidak memanggil nama orang yang lebih tua dari umur kami. Apabila hal ini dilanggar, maka mamaku tidak akan segan-segan memukul kami. Dan pastinya, pukulan itu tidak pernah terlewatkan olehku. Berulang kali tangan orang tuaku selalu melayang ke tubuhku setiap kali aku tidak sengaja atau sengaja memanggil abang dan kakakku dengan  nama mereka.

Jadi jangan heran, kalau di antara orang Batak Toba banyak yang tidak tahu nama opung, tulang, nantulang, amang boru, namboru, bapatua, oma tua, etc mereka. Bahkan, aku sendiri tahu, nama orang tuaku ketika tidak sengaja  melihat KTP mereka. Karena di beberapa data keluarga, misalnya raportku, nama orang tuaku disingkat menjadi L. Nainggolan. Sementara nama mamaku sepertinya tersembunyi bergitu aman bagaikan uang di bank. Inilah fenomena saking begitu sakralnya nama itu sehingga dia tersimpan rapi dan hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya. Saya sendiri lebih dikenal sebagai Rani, putri si Nainggolan tukang becak, dibandingkan dengan Rani putri dari Bapak Lukman.

Adalah sesuatu yang menyedihkan bagi kami, apabila teman-teman sebaya mengetahui nama orang tua kami. Dalam beberapa event, itu akan menjadi senjata yang paling mutakhir untuk menjatuhkan harga diri kami. Sebaliknya, adalah sebuah prestasi yang luar biasa bagi kami ketika kami mengetahui nama orang tua dari teman-teman kami. Karena itu akan menjadi senjata bagi kami untuk merasa menang dari teman-teman sebaya kami. Bagi sebagian anak yang terlahir menjadi dominan alias pemalak, ini menjadi senjata mereka untuk memeras anak yang bersangkutan.

Semakin banyak yang tahu nama orang tua kita, maka semakin tidak leluasalah pergaulan kita, karena setiap kali kita melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma pertemanan, maka disitulah nama orang tua kita akan diperdengarkan. Dan entah mengapa, sangat menyakitkan sekali, setiap kali orang lain menyebut nama orang tua kita, walaupun yang menyebut nama orang tua itu adalah teman yang dengan dia, kita paling banyak menghabiskan waktu.  Padahal kalau dipikir-pikir, memang apa yang salah kalau orang lain menyebut nama orang tua kita? Bukankah nama memang dibuat untuk dipanggil?
Keadaan akan semakin memanas apabila yang tahu nama orang tua kita itu adalah musuh kita. Beban dunia ini sepertinya diletakkan di pundak kita. Seolah-olah semua iblis yang ada di dunia bersatu padu masuk ke dalam hati kita yang mengakibatkan kita ingin sekali menginjak-injak  mereka sampai rata dengan tanah.
Dalam beberapa kejadian, ada beberapa temanku, yang akhirnya namanya berubah, menjadi nama orang tuanya. Dia dipanggil dengan nama papanya. Dan si anak, biasanya hanya bisa menerima dengan sangat pasrah. (Biasanya nama yang selalu dipermainkan adalah nama papa kita. Misalnya apabila nama papa kita adalah Bagudung, maka kita akan dipanggil dengan Bagudung, padahal nama kita adalah si Manuk).

Mengenai makna nama yang sangat berarti bagi orang Batak Toba ini, baru   benar-benar aku sadari setelah aku kuliah di Depok. Dulunya, aku kira semua suku mensakralkan nama. Ternyata, teman-teman kuliahku sangat leluasa sekali dan tanpa beban menyebut nama orang yang lebih tua dari mereka. Lidah mereka sangat lentur, berbeda dengan lidahku yang sangat kaku setiap kali menyebut nama orang yang lebih tua. Dengan adanya pensakralan nama di budayakulah pada akhirnya membuatku  sangat sulit untuk menghafal nama orang (mencari pembenaran). Secara tak langsung, aku sudah dibiasakan untuk menghafal wajah karena penyebutan nama sangat tabu.
Berapa seniorku di kampus, khususnya yang berjenis kelamin laki-laki selalu menertawakanku karena lidahku sudah terbentuk untuk memanggil yang lebih tua  dengan abang.  Budaya di kampusku, semuanya setara, tidak ada sebuatan kakak atau abang. Dan itu adalah PR yang begitu sulit untukku. Selama 18 tahun, aku telah didoktrin untuk tidak menyebut nama yang lebih tua. Mereka (seniorku) biasanya akan meresponku dengan "batak kali kau, Rani!".  Identitasku sebagai orang Batak Toba sangat sulit untuk aku tinggalkan dengan kebiasaan "gue-lo".  Benturan budaya  inilah salah satu penyebab culture shock yang terjadi padaku di tahun pertama kuliahku.

Kembali ke makna sebuah nama. Begitu besarnya arti sebuah nama bagi orang Batak Toba, bahkan guru-guruku di sekolah pun membuat peraturan tak tertulis bahwa bagi siapa yang menyebut nama orang tua temannya maka akan diberikan hukuman, misalnya telinga dijewer atau disuruh menghormat bendera di halaman sekolah. Jadi, apabila ada teman yang menyebut nama orang tua kita, segeralah melapor kepada guru terdekat. Setelah itu yang bersangkutan akan dihukum. Dan teman kita yang dihukum akan semakin menjadi-jadi menyebut nama orang tua kita (tentunya bukan di depan guru!). Jadi, bukanlah pilihan yang bijaksana untuk melaporkan si pelaku kepada guru karena akan menjadi bumerang bagi kita. Hal yang sama juga berlaku bagi nama guru-guru. Tidaklah sopan menyebut nama guru kita, kecuali permulaan nama dan marganya. Misalnya L. Nainggolan, berarti dia akan dipanggil Bapak LN. Sampai sekarang, aku tidak tahu siapa nama semua guru-guruku, kecuali marga atau borunya.

Di SMA, aku mengalami angin segar bahwa nama itu tidak harus disembunyikan. Nama itu harus dipublikasikan, tentunya dengan sepantasnya. Sebagian besar guru-guru di SMAku sudah mulai terbuka untuk memperkenalkan nama mereka kepada kami. Hal ini disebabkan, di SMA aku mendapat kesempatan untuk diajar oleh guru yang berlatar belakang bukan Batak Toba. Akan tetapi, beberapa guru masih tetap belum nyaman apabila namanya dipublikasikan, masih ada yang membuat singkatan, misalnya Bapah JH, Bapak MG, dsb.

Nama, begitu sangat berarti sekali bagi kami. Di keluargaku sendiri, nama itu tidak asal dibuat. Terdapat filosofi atau pesan khusus di dalamnya. Nama kami sendiri sudah dirancang oleh opung doli dari pihak papaku, bahwa setiap cucu laki-laki akan diawali dari huruf M, dan cucu perempuan diawali dengan huruf R. Abang tertuaku namanya Maruasas Salmen Parasian Nainggolan, abang kedua Maringan John Ferry Nainggolan, kakakku satu-satunya Rajumida Nainggolan, dan aku Rani Sartika Nainggolan. Sementara adikku yang laki-laki karena yang lahir setelah opung doliku wafat, tidak kebagian jatah. Namanya beda sendiri yaitu Eko Pahala Nainggolan, hasil persemedian papaku.

Seperti yang aku sebutkan di atas, bahwa nama bagi Batak Toba tidak dibuat asal-asalan. Ada filosofi khusus atau pesan yang tersirat di dalamnya. Aku lupa, pesan atau filosofi khusus di balik nama kedua abangku. Kalau kakakku, "Rajumi", yang adalah bahasa batak,  terjemahannya "Hayatilah, Renungkanlah". Nama ini diberikan kepada kakakku oleh opungku sebagai pesan khusus beliau kepada orang tuaku, dimana saat kakakku dalam kandungan, orang tuaku nyaris bercerai. Papaku pergi ke Jakarta meninggalkan mamaku yang sedang mengandung kakakku. Papaku baru kembali ke rumah setelah kakakku lahir. Oleh karena itu, opung doliku memberikan nama rajumi kepada kakakku agar orang tuaku merenungkan kembali bahwa mereka diberkati melalui cinta. Sebesar apapun "ombak" kehidupan menerpa cinta yang telah mereka bangun, mereka (orang tuaku) diminta dengan sangat untuk merenungkan kembali, bahwa mereka telah terberkati melalui bayi perempuan yang adalah buah cinta mereka. Singkat cerita,  kedua orang tuaku pun rukun kembali. Selanjutnya, mungkin salah satu hasil perenungan dari papaku adalah lahirnya  rasa bersalah yang sangat luar biasa (tidak melihat kakakku lahir ke dunia), sehingga kakakku tumbuh menjadi putri kesayangannya.

Nama adikku Eko adalah pemberian ayahku. Nama ini diberikan kepadanya karena saat adikku lahir, orang Batak Toba dan yang beragama Kristen sangat dicekal untuk maju oleh pemerintahan Soeharto. Oleh karena itu, agar pengalaman buruk papaku yaitu yang gagal masuk PNS akibat dicekal oleh pemerintah, tidak terulang kembali ke adikku, papaku memberikan nama Jawa kepadanya, yaitu EKO.

Lalu bagaimana dengan namaku?
Kalau para pembaca menyimak, namaku adalah satu-satunya nama di antara kami bersaudara yang tidak ada unsur Batak Tobanya. Kenapa?
Aku pernah mempertanyakan hal ini kepada papaku. Papaku menjawab, namaku diambil dari bahasa Sansakerta, Rani artinya Ratu. Menurut papaku, opung doliku memberikan nama ini kepadaku karena opungku melihat jidatku yang sangat menantang sehingga opung doliku memprediksikan bahwa aku akan menjadi seorang pemimpin yang cerdas. Padahal, berdasarkan tanggal lahir, aku adalah cucu opungku yang lahir terakhir semasa dia hidup. (Opungku meninggal setelah aku berusia setahun).

Aku bertanya kepada papaku, bagaimana mungkin opung doli bisa memprediksikan bahwa aku akan menjadi seorang pemimpin?
Papaku pun menjawab, NALURI SEORANG KAKEK!.

Dan, inilah aku. Rani Sartika Nainggolan.
Mungkin aku belum bisa membuktikan dengan sebuah jabatan atau sejenisnya kepada opung doliku bahwa apa yang telah dia prediksikan 25 tahun silam akan terjadi. Akan tetapi, sekarang aku bisa mengatakan bahwa aku adalah seorang PEMIMPIN. Aku telah berhasil memimpin diriku sendiriku untuk menjadi lebih baik. Tidak perlu jabatan, yang paling penting adalah pengaruh positif yang kuberikan dimana pun Tuhan menempatkanku.

Tulisan ini aku dedikasikan kepada opung doliku, Lewi Nainggolan. Aku tidak mengenalmu secara personal, terima kasih sudah mempercayakanku untuk menjadi seorang pemimpin!



Keterangan gambar.
dari kiri ke kanan (kuburan Lewi Nainggolan, Dame br Rumapea, dan Rotua Nainggolan)
1. Mendiang Bou Sonti Nainggolan
2. Maruasas Salmen Parasian Nainggolan
3. Rani Sartika Nainggolan
4. Maringan John Ferry Nainggolan
5. Rajumida Nainggolan
6. Namboru Marni Nainggolan
7. Namboru Sadaria Nainggolan