Tuesday 3 July 2012

halak batak do ho?


Adong do sada sungkun-sungkun di rohaku taringot na martondong di hami halak batak. Godangan hubereng di hami halak batak, molo ro tubu ni anggina manang tutur na sian huta lao tinggal di jabuna, antar lao sadia leleng  sai intor marsigorgor  do elat di roha na. Dang boi dibahen ianokhon ni tutur na i gabe songon tubu na sandiri. Intor mardikan do holong i dibahen. Apalagi molo tutur na ro i sian huta manang lebih huta sian huta na ditopot na i. On ma sada na mambahen tubu di roha ni angka na naeng mangaronto, dang olo mandege jabu ni tutur na. Tumagon ditaon-taon marsikor manang didia daripada ingkon tinggal di jabu ni tutur na.

Godang hubereng na masa songon on. Molo ro tutur na sian huta, paula so disangko. Intor merasa diri sok kota ma angka jolma na tinggal di Jakarta on. Hape molo ni rimangan, dao dope lebih berkualitas angka halak na tubu jala magodang di huta daripada angka jolma na tubu jala magodang di Jakarta on. Tung so binoto do angka aha na dihaginjangkon na. Sai dilesengi ma angka jolma na ro sian huta, didok "parhuta-huta" hape sebenarna naung maila do halaki mangida diri na sandiri, ala dang adong gogona lao mangaranto. Sai lalap mangasangkon haJakarta on na. Hape di Jakarta pe halaki sona gabe manang ise, tong do songon-songon i.

Molo di luar, tarsohor ma halak batak i, sada suku na tung mansai denggan jala uli situtu do angka na martondong, tarida ma i sian gok na i angka punguan-punguan marga. Hape molo masuk iba tu bagasan tarida ma na godangan angka gilok jongkal.
Tung mansai maol do mangida halak batak na mardos roha jala mardenggan. Elat, late, hosom, teal sai tong do marurat di bagasan roha na be. Nang pe nunga tinggal di Jakarta on. Jala sude do halak batak punasa on. Au pe adong di au on. On ma sada pergumulan berat nuaeng di angka halak batak na bisuk maroha. Boa ma carana asa boi elat, late, hosom, dohot teal on dang gabe manusai jala unang be dipake be tu parale-aleon manang tu na martondong.

Angka natua-tua di Jakarta on, nunga maol na lao sitiruon. Na maolan do sonari on natua-tua lao mandok hata tu angka ianakhon na. Boasa boi songon i, ai nunga sala mandasor. Molo ro tutur na sian huta, dang dipasingot angka ianakhon na i lao mangkaholongi tutur na i. Ai boa ma ibana pasingothon ai ibana pe sona boi mangkahaholongi tutur na i. Jai, tung mansai lam susah so parngoluan on. Susah di perhepengon susah ma muse dipartondongon. Sudena si buat na di dirina be. Natuatua salah mamemehon, angka ianakhon pe dang olo marsiajar. 

Jai, tung mansai maol situtu do parngoluan di hami halak Batak. Molo adong sada halak na so halak batak lao masuk tu keluarga batak, ingkon sahalak na pir ma ibana. Ai gok elat, late, teal, hosom, na so boi longkang sian pamatang ni halak batak. Molo dang adong be na opat on di sada halak batak, boi ma disungkun, halak batak do ibana manang daong?

Wednesday 26 August 2009

SETETES TAPI BENING

SETETES TAPI BENING

Ayah saya adalah tukang becak. Pekerjaan ini telah ditekuni ayah saya sejak saya duduk di bangku kelas tiga SD. Sebelumnya, ayah saya bekerja sebagai pedagang topi, dompet, dan ikat pinggang ke setiap desa di kecamatan kami. Kegiatan ini langsung terhenti karena barang dagangan ayah saya tidak laku. Alhasil, semua barang dagangannya dikembalikan ke grosir dan kemudian ayah saya membeli sebuah becak. Setelah becak itu dibeli, ayah menuliskan sebuah frase “setetes tapi bening” di belakang becaknya. Waktu itu, saya tidak mengerti arti dari kata-kata tersebut, akan tetapi entah mengapa saya senang dengan kata itu. Saya sering mengulang-ulangnya di hati saya.
Suatu hari, ayah saya dan teman-temannya sesama tukang becak berbincang-bincang di rumah saya. Waktu itu, saya sedang menonton dimana jarak saya dengan ayah dan teman-temannya hanya sekitar dua meter, mau tak-mau saya mendengar apa yang sedang mereka obrolkan. Telinga saya lebih saya fokuskan ke pembicaraan mereka ketika salah satu teman ayah saya menanyakan arti kata “setetes tapi bening” yang tertulis di becaknya.
Ayah saya lalu menjelaskan setetes tapi bening itu maksudnya adalah bahwa sebagai tukang becak, uang yang didapatkan memang sedikit tapi uang itu berasal dari hasil keringat sendiri. Jangan kuatirkan jumlah uang yang kau dapatkan yang penting uang itu murni dari hasil keringatmu, itulah yang dikatakan dengan bening. Setetes tapi bening itu jauh lebih bernilai daripada satu ember tapi keruh. Lalu ayah saya memberikan contoh dengan para pejabat yang bekerja dan berusaha mengumpulkan “uang keruh” sebanyak mungkin tanpa peduli akan nasib rakyat.
Ketika mendengar penjelasan ayah saya, saya masih duduk di bangku kelas enam SD yaitu tahun 1999. Saya tidak terlalu mengerti dengan apa yang dmaksudkan ayah saya dengan “uang keruh”. Walaupun saya sudah banyak mendenar di televisi bahwa saat itu KKN benar-benar merajalela di bumi Indonesia. Yang saya pahami dengan sangat yakin saat itu adalah bahwa dalam hidup ini, saya harus selalu jujur, jujur dengan apa yang saya kerjakan, walaupun saya akan mendapatkan hasil yang sedikit yang penting jujur dan tidak curang. Yang terpenting, bukan berapa banyak yang akan kita dapatkan tapi bagaimana kita mendapatkannya dan akan jauh lebih baik sedikit tapi diperoleh dengan kejujuran daripada banyak tapi dengan segala kebohongan.
Kisah di atas adalah salah satu pengalaman ketika saya masih tinggal dengan orang tua saya. Dari sana saya belajar untuk selalu berlaku jujur dalam setiap pekerjaan yang saya lakukan. Berdasarkan hasil pengalaman saya selama tinggal dengan keluarga dan sebagai mahasiswa psikologi UI saya sangat setuju sekali apabila upaya untuk menumbuhkan anti-korupsi disosialisasikan dalam kehidupan berkeluarga. Hal ini disebabkan keluarga adalah komunitas pertama yang dimiliki oleh seorang anak di awal kehidupannya.
Hancurnya mental masyarakat Indonesia menurut saya sekarang ini juga disebabkan akan kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh para orang tua dalam mengasuh anak-anak mereka. Hampir semua orang tua di Indonesia selalu mendidik anak-anaknya agar nantinya menjadi anak yang berhasil. Definisi berhasil dalam keluarga Indonesia adalah memiliki banyak uang. Alhasil, banyak orang tua berusaha mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah agar nanti setelah lulus dapat pekerjaan yang akan menghasilkan uang. Segala sesuatunya diukur dengan uang. Dalam skema orang-orang Indonesia seolah-olah tujuan akhir dari sekolah adalah untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Akibatnya, segala cara dilakukan hanya untuk memenuhi harapan orang tua yang telah terukir dalam pikiran anak-anak Indonesia.
Saya tidak mau munafik. Saya sangat mengakui bahwa uang itu penting. Tapi, harus tetap digarisbawahi bahwa uang bukanlah segalanya. Konsep mengirimkan anak-anak ke sekolah agar nantinya setelah lulus memperoleh uang yang banyak adalah kesalahan besar yang telah dilakukan oleh para orang tua di Indonesia dan itu harus segera dihentikan. Anak-anak dikirim ke sekolah bukan untuk menghasilkan anak-anak yang dapat mengumpulkan uang sebanyak mungkin melainkan untuk menghasilkan anak-anak yang menghayati keberadaannya di dunia ini. Anak-anak yang nantinya tumbuh menjadi manusia yang memahami tujuan dia ada di dunia ini sehingga dia bisa berkarya dan menghasilkan sesuatu dimana karya yang natinya dihasilkan tidak melulu diukur dengan uang. Uang hanyalah bonus dari hasil kerja kita, bukan menjadi upah utama kita setelah bekerja atau berkarya. Seperti yang kita tahu, bonus hanya dapat kita terima jikalau kita berhasil menciptkan suatu karya.
Hal pertama yang harus dilakukan untuk mewujudkan konsep uang bukan segalanya adalah melalui para dosen dan mahasiwa. Menurut saya, kelompok ini adalah kelompok para akademia yang nantinya dapat menjadi change agent bagi masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan kampus, harus diterapkan bahwa mahasiswa kuliah bukan untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin akan tetapi untuk menghasilkan karya yang berguna bagi orang banyak. Seperti yang selalu ditekankan oleh salah satu dosenku di kelas, dalam pikiran setiap mahasiswa di Indonesia harus ditanamkan prinsip berpantang mati sebelum menghasilkan suatu karya yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Peran mahasiswa sebagai change agent (pembawa perubahan) dalam kehidupan bermasyarakat juga dapat dilakukan dengan cara melakukan kerja praktek atau lapangan ke masyarakat yaitu memberikan penyuluhan atau pembinaan dalam mengelolah hidup mereka masing-masing. Jadi, penyuluhan atau pembinaan yang dilakukan bukan hanya sebatas mengajari baca tulis, akan tetapi juga diberikan pembinaan mental dan emosi. Sebagai contoh, mahasiswa ekonomi memberikan penyuluhan kepada masyarakat bagaimana caranya mengelolah uang mereka dengan baik. Mahasiswa keperawatan, kedokteran, dan kesehatan masyarakat memberikan penyuluhan mengenai cara hidup sehat dan mengolah makan makanan bergizi tanpa dengan bahan dasar yang mahal. Mahasiswa hukum memberikan pembinaan mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam berbangsa dan bernegara serta memberikan keterangan hukum sehingga dapat meminimalisir terjadinya tindak kriminal. Mahasiswa psikologi dapat memberikan pelatihan dalam meregulasi emosi ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Saya sangat menyadari sekali bahwa pendidikan dan pengetahuan masyarakat di negara kita masih sangat minim. Masih banyak yang belum memiliki kesempatan untuk sekolah. Oleh karena itu, peran mahasiswa sangat dibutuhkan untuk membagikan ilmu yang telah didapatkan di kampus untuk masyarakat terlebih dahulu. Saya yakin, jika setiap mahasiswa diwajibkan untuk turun ke lapangan (masyarakat) memberikan pembinaan sesuai dengan disiplin ilmu mereka akan sangat membantu dalam upaya menumbuhkan budaya anti-korupsi di Indonesia. Masyarakat akan dibukakan pikirannya bahwa hidup bukan hanya untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin akan tetapi ada banyak hal positif yang harus dikerjakan selama kita masih hidup.
Saya pernah membantu dosen melakukan penelitian ke beberapa kelurahan di Jakarta dan sekitarnya. Selama melakukan penelitian saya akhirnya menyadari bahwa masalah uang menjadi fokus mereka. Akan tetapi jika mereka (masyarakat) menyadari bahwa masalah uang sebenarnya tidak perlu mendapatkan fokus utama kita karena kita hidup bukan untuk uang. Dalam ajaran agama saya dikatakan bahwa manusia hidup bukan hanya dari makanan saja tapi dari mulut Tuhan. Lihatlah burung-burung di udara, tanaman di padang, mereka tidak menabur padi dan memintal pakaian tapi mereka dipelihara oleh Tuhan. Apalagi manusia, ciptaan Tuhan yang paling berharga. Kita tidak perlu kuatir akan apa yang kita makan dan akan apa yang kita pakai besok karena semuanya sudah disediakan Tuhan.
Belajarlah untuk tidak mencintai uang. Cinta akan uanglah yang akan membawa manusia ke kebinasaan yang kekal karena dengan cinta uang maka korupsi akan selalu terjadi. Hidup dengan mengerjakan bagian masing-masing tidak akan pernah kelaparan, misalnya sebagai tukang becak tidak meminta ongkos becak yang tidak sesuai, guru mengajari pelajar dengan tekun dan sabar, mahasiswa belajar untuk menghasilkan karya bagi masyarakat, dan para pejabat bekerja dengan tugas masing-masing.
Contoh nyata dari apa yang telah saya sebutkan di atas adalah pengalaman saya sendiri. Saya yang hanyalah anak tukang becak sampai sekarang tidak pernah kelaparan. Selalu ada jalan ketika kita mau berusaha dan bekerja. Orang tua saya yang berpenghasilan pas-pasan selalu dicukupkan dalam segala hal. Setetes tapi bening menjadi prinsip hidup saya. Tidak peduli betapa sedikit uang yang saya dapatkan sekarang dan kelak, yang penting uang yang sedikit itu bening tidak keruh, itu jauh lebih berharga bagi saya. Karena saya hidup bukan untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin, melainkan untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi orang lain.