Saturday 25 August 2012

halak batak do ho? (2)

Aku adalah perempuan Batak Toba. Dibesarkan dengan adat Batak Toba. Jadi, tidak perlu heran kalau sedikit-banyak aku cukup familiar dengan segala sesuatu yang berbau Batak Toba. Khususnya mengenai marga-marga yang masih bersinggungan denganku ataupun dengan beberapa filosofi adat Batak Toba.Walaupun harus aku akui dengan sangat tegas proses pembelajaranku belum sempurna. Dengan kata lain, pengetahuan yang kumiliki mengenai adat Batak masih lebih sedikit dari apa yang belum aku ketahui. Oleh karena itulah, dalam berbagai kesempatan aku selalu berusaha untuk mempelajari adat Batak Toba tersebut, misalnya melakukan observasi di dalam setiap event Batak Toba, khususnya dalam pesta pernikahan atau adat dalam suasana kematian. (Sekilas info, cara cepat untuk mempelajari adat Batak Toba adalah dengan hadir dan menyimak pesta-pesta adat Batak Toba, jadi jangan malas mengikuti adat Batak Toba kalau memang ingin menambah wawasanmu tentang adat Batak Toba!)

Ada banyak prinsip kehidupan yang sangat filosofis dalam adat Batak Toba. Dimana hampir semua filosofi tersebut juga sangat sejalan dengan apa yang diajarkan dalam agama Kristen. Mungkin, hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa agama Kristen sangat berkembang di Tanah Batak Toba. Salah satu filosofi Batak Toba yang membuatku terkagum-kagum adalah adanya pembagian peran dalam adat Batak Toba. Dimana semua orang yang mengaku dirinya Batak Toba  memiliki tiga peran yang dua diantaranya adalah peran ekstrem, yaitu peran sebagai hula-hula (peran tertinggi dalam adat Batak Toba) dan sebagai boru (peran terendah dalam adat Batak Toba). Satu  lagi peran yang dimiliki oleh orang Batak Toba adalah sebagai dongan tubu (peran yang seimbang dengan orang lain). Ketiga hal ini dikenal dengan dalihan na tolu (baca http://id.wikipedia.org/wiki/Dalihan_Na_Tolu).

Dengan adanya ketiga peran ini dalam diri seorang Batak Toba idealnya sih seharusnya akan membuat manusia Batak Toba itu untuk bisa lebih memposisikan dirinya dengan lebih baik, karena akan ada saatnya dia menjadi raja, ada saatnya dia menjadi hamba, dan ada saatnya dia menjadi dongan tubu (aku tidak menemukan analogi yang tepat untuk menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia). Karena filosofi dalihan na tolu  ini bukan hanya berlaku dalam adat tapi juga dalam kehidupan sehari-hari Batak Toba, khususnya dalam hal berpikir, bertutur kata, dan berperilaku.

Menurutku filosofi dalihan na tolu adalah sebuah maha karya yang sangat luar biasa dari para leluhur Batak Toba. Yang bisa dibilang salah satu yang menjadi keunikan dari suku ini dibandingkan dengan suku lain. Tidak ada kelas sosial yang berdampak pada gap atau diskriminasi karena sekaya apapun dia, setinggi apapun jabatannya di kantor/perusahaan, seberapa banyak pun titel pendidikan yang berhasil dia kumpulkan, dalam dirinya tetap ada peran sebagai boru  yang harus menghormati hula-hulanya. Sebaliknya semiskin apapun dia, dia juga berhak mendapatkan penghormatan dari boru  nya. Akan tetapi,  seiring dengan berjalannya waktu, maha karya ini telah mulai mengalami kepudaran. Maha karya itu pada umumnya hanya diketahui oleh para raja parhata selebihnya filosifi dalaihan na tolu hanya menjadi wacana saja atau kalaupun ada yang mengerti mereka lebih membuka mata terhadap perannya sebagai hula-hula dan menutup mata untuk kedua peran yang lainnya.
Cukup berbanding lurus dengan fenomena karakteristik manusia, lebih cenderung ingin dihormati. Mereka lupa kunci utama untuk dihormati adalah tentu saja dengan membuat kita layak untuk dihormati yaitu salah satu caranya adalah dengan menghargai orang lain.

Saat ini, khususnya generasiku sangat banyak yang mulai memilih untuk meninggalkan adat Batak Toba. Atau istilah kerennya melakukan modifikasi. Proses yang panjang dan banyaknya materi yang akan dikeluarkan dalam menjalankan adat itu, menjadi  alasan untuk tidak menerapkan adat Batak Toba seperti mana seharusnya. Tak dapat diingkari, hal ini disebabkan karena kami adalah generasi yang lahir di zaman instant. Tidak mau tahu dengan proses, kalau bisa gampang untuk apa dibuat susah, itulah prinsip hidup bagi hampir semua manusia di generasiku yang sekarang. Dan ini bukan hanya terjadi di dalam adat saja, tapi di hampir semua aspek kehidupan kami.
Padahal, seadainya kami mau meluangkan waktu  untuk mengenal dan mempelajari filosifi dalihan na tolu, mungkin segala konflik yang acap kali terjadi di kalangan Batak Toba, khususnya di saat-saat akan melakukan adat Batak Toba bisa diminimalisir.

Aku tahu, adat Batak Toba itu sangat mahal. Tak jarang orang Batak Toba akan melakukan utang ke sana ke mari hanya agar bisa mengikuti adat dengan sesempurna mungkin. Karna bagi Batak Toba, hidup itu adalah adat, dan adat membutuhkan proses dan materi yang tidak sedikit. Mulai dari lahir sampai meninggal, bahkan telah menjadi bangkai sekalipun, orang Batak Toba diselimuti oleh adat. Yang namanya selimut tentu saja menghangatkan, bukan?

Yang menjadi pertanyaan, apakah adat itu masih tetap bisa menghangatkan? Atau manusia di generasiku sekarang sudah tidak membutuhkan selimut lagi karena global warming yang membuat bumi tidak lagi sedingin seratus tahun yang lalu? Kalau memang demikian adanya, kata selimut seharusnya sudah ada dimuseum kamus sekarang, alias tidak perlu dipakai lagi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk kedua pertanyaan ini, mari kita renungkan bersama-sama.

Dalam tulisan kali ini, dua hal yang ingin aku soroti mengenai pembenaran diri untuk tidak menjalankan adat Batak Toba sebagaimana seharusnya bagi sebagian orang di generasiku sekarang, yaitu PROSES dan MATERI. Kedua hal ini sudah sangat cukup menjawab mengapa adat Batak Toba tidak dapat dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya. Dimana kedua alasan ini muncul tentu saja karena ketidakpedulian kami untuk mengenal dan mempelajari adat Batak Toba sehingga kami fokus mempersepsikan bahwa adat itu sesuatu yang ribet, kami tidak tahu apa filosofi dan manfaatnya bagi kehidupan kami.

Dari berbagai fenomena yang saya observasi, adat Batak Toba akan menjadi sesuatu yang "dibenci" oleh mereka yang tidak mengenal dan memahami adat Batak Toba khususnya pada kondisi ingin memulai bahtera pernihakan bagi para generasi muda.(Untuk informasi tambahan, seseorang diakui keberadaannya dalam adat Batak Toba adalah ketika dia sudah menikah secara hukum adat, di usia berapapun!) Adat Batak Toba menjadi sesuatu yang sangat berat untuk mereka lakukan. Mereka akan mencari pembenaran diri untuk menyalahkan adat Batak Toba yang tidak lagi relevan dengan perkembangan teknologi saat ini.

PROSES dan MATERI

Sejarah telah mencatat, hanya dengan melalui proseslah sesuatu yang sangat baik itu dapat tercapai. Sebaliknya, dalam banyak hal keinstanant akan membawa manusia ke generasi MANJA!

Aku tidak mau munafik, uang memang sangat penting! Apalagi dalam budaya Batak Toba yang sangat mahal, uang tentunya mengambil peran utama, di samping manusia tentunya. Justru inilah alasan mengapa aku sangat bersyukur bisa mengenal dan belajar adat Batak Toba. Disinilah letak kekagumanku terhadap adat Batak Toba, adat yang begitu sangat mahal dan wajib dijalankan oleh mereka yang ingin menjadi Batak Toba. Bukan hanya menjadi Batak Toba di KTP saja atau Batak Toba yang berkoar-koar bangga menjadi orang Batak Toba, tapi tidak mau menjalankan adat Batak Toba sebaik mungkin.

Satu hal yang menjadi hasil pembelajaranku selama ini adalah bahwa  untuk menjadi orang Batak Toba ada harga yang harus dibayar. Sama seperti ketika kita mengatakan bahwa kita adalah pengikut Yesus, ada harga yang harus kita bayar. Dimana harga itu tentunya sangat mahal dan tidak ada pembenaran untuk kedua hal tersebut.
Perlu aku garis bawahi juga disini, bahwa adat Batak Toba itu tidak selalu membutuhkan materi yang banyak apabila tercipta dos ni roha. Bagaimana cara untuk mendapatkan dos ni roha  adalah tentunya dengan adanya proses pengenalan yang baik satu sama lain. Untuk itulah Tuhan membekali kita dengan emosi yang disebut dengan berempati dan bersimpati. Tuhan memberikan kita hati nurani yang bisa menjadi radar untuk dapat merasakan dan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain sehingga dos ni roha pun tercapai dalam pelaksanaan adat. Tuhan juga membekali kita dengan akal budi yang bisa memahami filosfi dari adat Batak, sama seperti Yesus memberikan pengajaran melalui perumpamaan.

Kembali ke masalah PROSES. Mempelajari dan mengenal adat Batak Toba telah memperkenalkanku terhadap PROSES. Bahwa untuk segala sesuatu di dunia ini ada prosesnya, bahkan Tuhan bekerja bagi kehidupan setiap manusia juga melalui proses. Sebelum kita mengatakan bersedia untuk menikah, ada proses yang harus kita jalani, ada harga yang harus kita bayar. Dan itu semua terangkup dalam dalihan na tolu. Ada proses dimana kita harus mempelajari adat Batak Toba dulu sebelum kita memasukinya dan mengambil peran dalam adat tersebut. Dengan demikian, kita tidak menggampangkan segala cara demi terlaksananya tujuan kita. Bagi orang Batak Toba, yang terpenting adalah proses bukan hasil.

Misal dalam pesta pernikahan, bagi calon mempelai yang terpenting adalah hasil, yaitu menikah. Ini adalah persepsi yang salah. Apabila kamu menyebut dirimu orang Batak Toba, yang terpenting adalah proses yang akan kita jalani ketika kita mengatakan ya untuk menikah. Karena sekali kita mengatakan ya, komitmen kita untuk mempertanggungjawabkannya juga akan menyusul. Karena itulah adat itu membutuhkan biaya mahal, sebagai bukti dari komitmen kita untuk mengemban tiga peran sekaligus selama kita hidup. Jadi, pernyataan dari pada berbuat jinah mending menikah saja, itu tidak ada dalam kosa kata Batak Toba. Pernikahan bukan semata-mata untuk melegalkan hubungan seks! Pernikahan adalah bukti komitmen kita untuk menjadi orang Batak Toba dengan tiga peran yang telah saya sebutkan di atas.

Itulah kehidupan Batak Toba yang sesungguhnya. Dan nilai ini sama dengan kehidupan beragama, sekali kita mengatajan ya pada satu agama, maka komitmen kita untuk mempertanggungjawabkannya juga akan menyusul.

Jadi, apabila kau menyebut dirimu orang Batak Toba, kenal dan pelajarilah adat Batak Toba terlebih dahulu, karena adat Batak Toba adalah selimut bagimu! Jangan pernah berkata ya untuk mengambil peran dalam adat Batak Toba (baca menikah) jikalau belum mengenal dan mempelajari adat Batak Toba. Kecuali kalau pilihanmu adalah menjadi  manusia tidak beradat.

Tuesday 3 July 2012

halak batak do ho?


Adong do sada sungkun-sungkun di rohaku taringot na martondong di hami halak batak. Godangan hubereng di hami halak batak, molo ro tubu ni anggina manang tutur na sian huta lao tinggal di jabuna, antar lao sadia leleng  sai intor marsigorgor  do elat di roha na. Dang boi dibahen ianokhon ni tutur na i gabe songon tubu na sandiri. Intor mardikan do holong i dibahen. Apalagi molo tutur na ro i sian huta manang lebih huta sian huta na ditopot na i. On ma sada na mambahen tubu di roha ni angka na naeng mangaronto, dang olo mandege jabu ni tutur na. Tumagon ditaon-taon marsikor manang didia daripada ingkon tinggal di jabu ni tutur na.

Godang hubereng na masa songon on. Molo ro tutur na sian huta, paula so disangko. Intor merasa diri sok kota ma angka jolma na tinggal di Jakarta on. Hape molo ni rimangan, dao dope lebih berkualitas angka halak na tubu jala magodang di huta daripada angka jolma na tubu jala magodang di Jakarta on. Tung so binoto do angka aha na dihaginjangkon na. Sai dilesengi ma angka jolma na ro sian huta, didok "parhuta-huta" hape sebenarna naung maila do halaki mangida diri na sandiri, ala dang adong gogona lao mangaranto. Sai lalap mangasangkon haJakarta on na. Hape di Jakarta pe halaki sona gabe manang ise, tong do songon-songon i.

Molo di luar, tarsohor ma halak batak i, sada suku na tung mansai denggan jala uli situtu do angka na martondong, tarida ma i sian gok na i angka punguan-punguan marga. Hape molo masuk iba tu bagasan tarida ma na godangan angka gilok jongkal.
Tung mansai maol do mangida halak batak na mardos roha jala mardenggan. Elat, late, hosom, teal sai tong do marurat di bagasan roha na be. Nang pe nunga tinggal di Jakarta on. Jala sude do halak batak punasa on. Au pe adong di au on. On ma sada pergumulan berat nuaeng di angka halak batak na bisuk maroha. Boa ma carana asa boi elat, late, hosom, dohot teal on dang gabe manusai jala unang be dipake be tu parale-aleon manang tu na martondong.

Angka natua-tua di Jakarta on, nunga maol na lao sitiruon. Na maolan do sonari on natua-tua lao mandok hata tu angka ianakhon na. Boasa boi songon i, ai nunga sala mandasor. Molo ro tutur na sian huta, dang dipasingot angka ianakhon na i lao mangkaholongi tutur na i. Ai boa ma ibana pasingothon ai ibana pe sona boi mangkahaholongi tutur na i. Jai, tung mansai lam susah so parngoluan on. Susah di perhepengon susah ma muse dipartondongon. Sudena si buat na di dirina be. Natuatua salah mamemehon, angka ianakhon pe dang olo marsiajar. 

Jai, tung mansai maol situtu do parngoluan di hami halak Batak. Molo adong sada halak na so halak batak lao masuk tu keluarga batak, ingkon sahalak na pir ma ibana. Ai gok elat, late, teal, hosom, na so boi longkang sian pamatang ni halak batak. Molo dang adong be na opat on di sada halak batak, boi ma disungkun, halak batak do ibana manang daong?

Wednesday 26 August 2009

SETETES TAPI BENING

SETETES TAPI BENING

Ayah saya adalah tukang becak. Pekerjaan ini telah ditekuni ayah saya sejak saya duduk di bangku kelas tiga SD. Sebelumnya, ayah saya bekerja sebagai pedagang topi, dompet, dan ikat pinggang ke setiap desa di kecamatan kami. Kegiatan ini langsung terhenti karena barang dagangan ayah saya tidak laku. Alhasil, semua barang dagangannya dikembalikan ke grosir dan kemudian ayah saya membeli sebuah becak. Setelah becak itu dibeli, ayah menuliskan sebuah frase “setetes tapi bening” di belakang becaknya. Waktu itu, saya tidak mengerti arti dari kata-kata tersebut, akan tetapi entah mengapa saya senang dengan kata itu. Saya sering mengulang-ulangnya di hati saya.
Suatu hari, ayah saya dan teman-temannya sesama tukang becak berbincang-bincang di rumah saya. Waktu itu, saya sedang menonton dimana jarak saya dengan ayah dan teman-temannya hanya sekitar dua meter, mau tak-mau saya mendengar apa yang sedang mereka obrolkan. Telinga saya lebih saya fokuskan ke pembicaraan mereka ketika salah satu teman ayah saya menanyakan arti kata “setetes tapi bening” yang tertulis di becaknya.
Ayah saya lalu menjelaskan setetes tapi bening itu maksudnya adalah bahwa sebagai tukang becak, uang yang didapatkan memang sedikit tapi uang itu berasal dari hasil keringat sendiri. Jangan kuatirkan jumlah uang yang kau dapatkan yang penting uang itu murni dari hasil keringatmu, itulah yang dikatakan dengan bening. Setetes tapi bening itu jauh lebih bernilai daripada satu ember tapi keruh. Lalu ayah saya memberikan contoh dengan para pejabat yang bekerja dan berusaha mengumpulkan “uang keruh” sebanyak mungkin tanpa peduli akan nasib rakyat.
Ketika mendengar penjelasan ayah saya, saya masih duduk di bangku kelas enam SD yaitu tahun 1999. Saya tidak terlalu mengerti dengan apa yang dmaksudkan ayah saya dengan “uang keruh”. Walaupun saya sudah banyak mendenar di televisi bahwa saat itu KKN benar-benar merajalela di bumi Indonesia. Yang saya pahami dengan sangat yakin saat itu adalah bahwa dalam hidup ini, saya harus selalu jujur, jujur dengan apa yang saya kerjakan, walaupun saya akan mendapatkan hasil yang sedikit yang penting jujur dan tidak curang. Yang terpenting, bukan berapa banyak yang akan kita dapatkan tapi bagaimana kita mendapatkannya dan akan jauh lebih baik sedikit tapi diperoleh dengan kejujuran daripada banyak tapi dengan segala kebohongan.
Kisah di atas adalah salah satu pengalaman ketika saya masih tinggal dengan orang tua saya. Dari sana saya belajar untuk selalu berlaku jujur dalam setiap pekerjaan yang saya lakukan. Berdasarkan hasil pengalaman saya selama tinggal dengan keluarga dan sebagai mahasiswa psikologi UI saya sangat setuju sekali apabila upaya untuk menumbuhkan anti-korupsi disosialisasikan dalam kehidupan berkeluarga. Hal ini disebabkan keluarga adalah komunitas pertama yang dimiliki oleh seorang anak di awal kehidupannya.
Hancurnya mental masyarakat Indonesia menurut saya sekarang ini juga disebabkan akan kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh para orang tua dalam mengasuh anak-anak mereka. Hampir semua orang tua di Indonesia selalu mendidik anak-anaknya agar nantinya menjadi anak yang berhasil. Definisi berhasil dalam keluarga Indonesia adalah memiliki banyak uang. Alhasil, banyak orang tua berusaha mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah agar nanti setelah lulus dapat pekerjaan yang akan menghasilkan uang. Segala sesuatunya diukur dengan uang. Dalam skema orang-orang Indonesia seolah-olah tujuan akhir dari sekolah adalah untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Akibatnya, segala cara dilakukan hanya untuk memenuhi harapan orang tua yang telah terukir dalam pikiran anak-anak Indonesia.
Saya tidak mau munafik. Saya sangat mengakui bahwa uang itu penting. Tapi, harus tetap digarisbawahi bahwa uang bukanlah segalanya. Konsep mengirimkan anak-anak ke sekolah agar nantinya setelah lulus memperoleh uang yang banyak adalah kesalahan besar yang telah dilakukan oleh para orang tua di Indonesia dan itu harus segera dihentikan. Anak-anak dikirim ke sekolah bukan untuk menghasilkan anak-anak yang dapat mengumpulkan uang sebanyak mungkin melainkan untuk menghasilkan anak-anak yang menghayati keberadaannya di dunia ini. Anak-anak yang nantinya tumbuh menjadi manusia yang memahami tujuan dia ada di dunia ini sehingga dia bisa berkarya dan menghasilkan sesuatu dimana karya yang natinya dihasilkan tidak melulu diukur dengan uang. Uang hanyalah bonus dari hasil kerja kita, bukan menjadi upah utama kita setelah bekerja atau berkarya. Seperti yang kita tahu, bonus hanya dapat kita terima jikalau kita berhasil menciptkan suatu karya.
Hal pertama yang harus dilakukan untuk mewujudkan konsep uang bukan segalanya adalah melalui para dosen dan mahasiwa. Menurut saya, kelompok ini adalah kelompok para akademia yang nantinya dapat menjadi change agent bagi masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan kampus, harus diterapkan bahwa mahasiswa kuliah bukan untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin akan tetapi untuk menghasilkan karya yang berguna bagi orang banyak. Seperti yang selalu ditekankan oleh salah satu dosenku di kelas, dalam pikiran setiap mahasiswa di Indonesia harus ditanamkan prinsip berpantang mati sebelum menghasilkan suatu karya yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Peran mahasiswa sebagai change agent (pembawa perubahan) dalam kehidupan bermasyarakat juga dapat dilakukan dengan cara melakukan kerja praktek atau lapangan ke masyarakat yaitu memberikan penyuluhan atau pembinaan dalam mengelolah hidup mereka masing-masing. Jadi, penyuluhan atau pembinaan yang dilakukan bukan hanya sebatas mengajari baca tulis, akan tetapi juga diberikan pembinaan mental dan emosi. Sebagai contoh, mahasiswa ekonomi memberikan penyuluhan kepada masyarakat bagaimana caranya mengelolah uang mereka dengan baik. Mahasiswa keperawatan, kedokteran, dan kesehatan masyarakat memberikan penyuluhan mengenai cara hidup sehat dan mengolah makan makanan bergizi tanpa dengan bahan dasar yang mahal. Mahasiswa hukum memberikan pembinaan mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam berbangsa dan bernegara serta memberikan keterangan hukum sehingga dapat meminimalisir terjadinya tindak kriminal. Mahasiswa psikologi dapat memberikan pelatihan dalam meregulasi emosi ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Saya sangat menyadari sekali bahwa pendidikan dan pengetahuan masyarakat di negara kita masih sangat minim. Masih banyak yang belum memiliki kesempatan untuk sekolah. Oleh karena itu, peran mahasiswa sangat dibutuhkan untuk membagikan ilmu yang telah didapatkan di kampus untuk masyarakat terlebih dahulu. Saya yakin, jika setiap mahasiswa diwajibkan untuk turun ke lapangan (masyarakat) memberikan pembinaan sesuai dengan disiplin ilmu mereka akan sangat membantu dalam upaya menumbuhkan budaya anti-korupsi di Indonesia. Masyarakat akan dibukakan pikirannya bahwa hidup bukan hanya untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin akan tetapi ada banyak hal positif yang harus dikerjakan selama kita masih hidup.
Saya pernah membantu dosen melakukan penelitian ke beberapa kelurahan di Jakarta dan sekitarnya. Selama melakukan penelitian saya akhirnya menyadari bahwa masalah uang menjadi fokus mereka. Akan tetapi jika mereka (masyarakat) menyadari bahwa masalah uang sebenarnya tidak perlu mendapatkan fokus utama kita karena kita hidup bukan untuk uang. Dalam ajaran agama saya dikatakan bahwa manusia hidup bukan hanya dari makanan saja tapi dari mulut Tuhan. Lihatlah burung-burung di udara, tanaman di padang, mereka tidak menabur padi dan memintal pakaian tapi mereka dipelihara oleh Tuhan. Apalagi manusia, ciptaan Tuhan yang paling berharga. Kita tidak perlu kuatir akan apa yang kita makan dan akan apa yang kita pakai besok karena semuanya sudah disediakan Tuhan.
Belajarlah untuk tidak mencintai uang. Cinta akan uanglah yang akan membawa manusia ke kebinasaan yang kekal karena dengan cinta uang maka korupsi akan selalu terjadi. Hidup dengan mengerjakan bagian masing-masing tidak akan pernah kelaparan, misalnya sebagai tukang becak tidak meminta ongkos becak yang tidak sesuai, guru mengajari pelajar dengan tekun dan sabar, mahasiswa belajar untuk menghasilkan karya bagi masyarakat, dan para pejabat bekerja dengan tugas masing-masing.
Contoh nyata dari apa yang telah saya sebutkan di atas adalah pengalaman saya sendiri. Saya yang hanyalah anak tukang becak sampai sekarang tidak pernah kelaparan. Selalu ada jalan ketika kita mau berusaha dan bekerja. Orang tua saya yang berpenghasilan pas-pasan selalu dicukupkan dalam segala hal. Setetes tapi bening menjadi prinsip hidup saya. Tidak peduli betapa sedikit uang yang saya dapatkan sekarang dan kelak, yang penting uang yang sedikit itu bening tidak keruh, itu jauh lebih berharga bagi saya. Karena saya hidup bukan untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin, melainkan untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi orang lain.