Wednesday 5 November 2014

Executive Search

     Bekerja adalah salah satu dan mungkin satu-satunya cara bagi manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan bekerja manusia akan mendapatkan upah, baik dalam bentuk uang maupun hal lainnya, misalnya kepuasan. Di dalam perkembangan dunia sekarang ini, bekerja di perkantoran adalah sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi dibandingkan dengan pekerjaan yang tidak dapat dikategorikan ke dalam jenis apapun. Mayoritas orang menghabiskan waku, tenaga, pikiran, dan mungkin materi juga untuk bisa menjadi pekerja kantoran. Pekerja kantoran yang saya maksud di sini bukan hanya mereka yang bekerja di perusahaan swasta tapi juga di kantor pemerintahan atau lebih dikenal dengan Pegawai Negeri Sipil.
     Sebuah keberan saya kurang lebih tiga tahun memiliki pengalaman bekerja sebagai Human Resource Development (HRD). Saya ingin berbagi informasi bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan karena saya yakin salah satu penyebab banyaknya pengangguran di Indonesia ini bukan hanya jumlah pekerjaan yang terbatas atau tidak sebanding dengan jumlah si pencari kerja, akan tetapi informasi mengenai pekerjaan tersebut tidak diketahui oleh si pencari kerja. Lebih jauh lagi, dalam tulisan ini saya akan memfokuskan dengan jenis pekerjaan yang bukan PNS atau yang kita kenal dengan pekerja swasta. Alasan utama saya karena jenis pekerjaan di swasta memiliki ruang yang lebih terbatas untuk diinformasikan kepada seluruh pencari kerja dengan alasan biaya, apalagi dengan perusahaan swasta yang memiliki budget terbatas. Berbeda halnya dengan pemerintah yang memiliki budget tidak terbatas sehingga informasi mengenai penerimaan calon PNS bisa diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia.
     Proses perekrutan di perusahaan swasta sebenarnya kurang lebih memiliki kesamaan dengan yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu melakukan pendaftaran terlebih dahulu, kalau beruntung akan mengikuti seleksi perekrutan, dan kalau jodoh akan bekerja di perusahaan tersebut. Itulah siklusnya secara kasar. Di zaman orang tua kita, untuk melakukan pendaftaran ke sebuah perusahaan mungkin prosesnya masih manual, yaitu dengan mendatangi setiap perusahaan dan meninggalkan CV di perusahaan tersebut. Atau mungkin di zaman kakak dan abang kita, harus mengirim berkas yang dibutuhkan lewat pos. Berbeda sekali dengan kondisi kita saat ini. Kita dipermudah dengan perkembangan teknologi, dimana berkas yang dibutuhkan di dalam pendaftaran untuk sebuah lowongan pekerjaan bisa dilakukan melalui email. Setiap orang di usia 20 - 30 tahun di tahun ini akan dianggap aneh bila tidak memiliki email.
Lebih detailnya lagi, proses pendaftaran ke perusahaan yang sedang mencari pekerjaan atau jenis perusahaan yang kita inginkan menjadi tempat kita bekerja bisa dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
  • Proses pendaftaran yang dilakukan oleh para calon karyawan melalui internet. yaitu melalui alamat web resmi dari perusahaan tersebut. Pihak perusahaan memberikan pengumuman dan cara untuk melakukan perndaftaran langsung tanpa adanya pihak ketiga di web mereka.
  • Masih berhubungan dengan internet, dengan kemajuan teknologi di zaman sekarang ini, banyak perusahaan perekrutan di dunia internet yang berkembang untuk mempertemukan pihak pemberi kerja dengan para pekerja di dunia internet. Mereka lebih dikenal dengan pihak ketiga. Contoh dari perusahaan yang bergerak di bidang ini adalah  JOBSTREET, JOB DB, CARIER.COM, LIONJOB, dsb. Cara kerja dari perusahaan pihak ketiga ini sangat membantu para calon pencari kerja. Cukup dengan mendaftarkan diri ke situs mereka dan mengisi data-data yang mereka minta, maka mereka akan mengirimkan jenis pekerjaan, nama perusahaan, requirement yang diharapkan, dan informasi yang terkait mengenai pekerjaan tersebut dimana informasi ini disesuaikan dengan data-data yang kita berikan kepada perusahaan pihak ketiga ketika kita melakukan pendaftaran. Setelah itu kita bisa melamar ke perusahaan tersebut secara langsung dengan alamat email kita atau bisa juga melamar ke pihak ketiga tersebut. Nantinya pihak ketiga yang akan meneruskan lamaran kita ke perusahaan yang kita lamar. Syarat utama dari proses ini adalah para calon pekerja diwajibkan untuk menjadi member di perusahaan ini. Dan data-data yang kita berikan adalah benar. Sebagai gantinya, mereka akan selalu mengirimkan  list perusahaan yang sedang mencari pekerja ke email si pencari kerja. Layanan ini gratis bagi para pencari kerja dan dikenakan tarif bagi perusahaan pencari kerja yang menggunakan layanan ini. Dari sudut pencari kerja, dengan adanya jenis perusahaan ketiga ini sangat menguntungkan dan membantu sekali. Para pencari kerja tinggal memilih jenis pekerjaan dan jenis perusahaan yang ingin dilamar sesuai dengan list perusahaan yang dikirimkan oleh pihak ketiga.
  • Masih dengan menggunakan email, saat ini juga telah berkembang sebuah jejaring profesional yang disebut dengan LINKED IN. Situs ini hampir mirip dengan jejaring sosial lainnya seperti FACEBOOK atau FRIENDSTER di zaman kakak dan abang kita. Perbedaannya terletak di profile yang kita share. Apabila di jejaring sosial kita bebas untuk men-share apapun, di situs ini kita sebaiknya hanya men-share segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia kerja. Situs ini adalah situs dimana para pelaku market place berkumpul, baik itu pihak si pencari kerja, si pemberi pekerjaan, atau mereka yang sudah bertahun-tahun di market place  untuk saling sharing knowledge di bidang yang mereka tekuni. Cara untuk mendaftar ke situs ini juga gratis untuk level Business Service. Apabila kita ingin meng-upgrade level kita ke Premium level, maka akan dikenakan biaya. Akan tetapi untuk status sebagai seorang pencari kerja, level business service juga sudah cukup memadai. Ketika kita melakukan pendaftaran menjadi member di LINKED IN, para pencari kerja diwajibkan untuk mengisi profile dengan pengalaman bekerja dan informsai yang mendukung, misalnya latar belakang pendidikan (almamater dan jurusan), award yang pernah diraih, dan penilaian rekan-rekan yang pernah bekerja dengan kita. Yang paling penting jangan menampilkan hal-hal yang membuat orang lain menilai kita kekanak-kanakan, alay, dan tidak profesional. Sekali lagi, situs ini adalah network yang membantu kita di dalam market place bukan untuk tempat curhat atau tempat kita menunjukkan kelemahan kita, sebaliknya disini adalah tempat kita "menjual diri" secara profesional. Profile kita disitus ini memang akan terlihat seperti  resume (CV) dimana semua orang memiliki akses untuk membacanya, termasuk para pencari pekerja.
  • Dari pihak perusahaan mengadakan event di suatu tempat dan mengundang para calon karyawan untuk menghadiri event tersebut. Event ini lebih dikenal dengan JOB FAIR. Biasanya, event ini diadakan oleh pihak ketiga dengan mengundang berbagai jenis perusahaan-perusahaan untuk hadir di event itu dan bertemu langsung dengan  para pencari kerja. Perusahaan pihak ketiga yang paling sering mengadakan event seperti ini adalah JOBSTREET. Untuk mempermudah para pencari kerja memperoleh informasi seperti ini, sebaiknya para pencari kerja sudah memiliki account atau sudah menjadi member dari JOBSTREET. Hal ini juga akan membantu para pencari kerja ketika mengikuti JOB FAIR, dimana biasanya sebelum memasuki event JOBSTREET selain kita harus bayar sebesar Rp 30.000,00 untuk satu hari, kita diwajibkan untuk menjadi member JOBSTREET. Bagi yang belum menjadi member JOBSTREET, kita akan disuruh untuk mendaftarkan diri dulu dan antriannya pastinya panjang. Kalau tidak mau antri hanya untuk melakukan pendaftaran ketika JOB FAIR diadakan, sebaiknya sebelum menghadiri event, daftarkan diri dulu ke JOBSTREET.
  • Perekrutan dilakukan oleh pihak ketiga, hampir sama dengan yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di dunia maya (pada point dua) dimana tujuannya adalah mempertemukan pihak si pemberi kerja dengan si pencari kerja. Mereka ini dikenal dengan Recuritment consultant atau Executitive Research. Lalu apa bedanya dengan pihak ketiga yang telah saya sebutkan di point kedua di atas? Bedanya pada point kedua, ketika kita sudah menjadi member dari perusahaan pihak ketiga, kita akan dikirimkan list nama-nama perusahaan dan posisi yang sedang ada, tanpa bertemu dengan mereka secara langsung. Sementara dengan pihak ketiga yang selanjutnya akan saya sebut Executive Research, langsung berhubungan dengan kita, baik melalui telepon maupun bertemu. Biasanya mereka akan langsung melakukan interview dengan pihak pencari kerja dan memberikan hasil interview tersebut ke perusahaan yang membutuhkan. Jadi, ada kalanya data pencari kerja akan menjadi database mereka dan sewaktu-waktu mereka memiliki klien (perusahaan pemberi kerja) membutuhkan pencari kerja, mereka akan menggunakan database tersebut.
     Dalam tulisan saya kali ini, saya ingin memaparkan mengenai keberadaan Executive Search yang begitu sangat menjamur di Jakarta akan tetapi untuk para pencari kerja masih banyak yang tidak menyadari keberadaan mereka.

     Executive Search adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara pencari kerja dan pemberi kerja. Di dunia market place perusahaan ini lebih dikenal dengan Head Hunter. Seperti namanya, perusahaan ini bertujuan untuk mencari para pencari kerja yang nantinya akan ditempatkan di perusahaan klien mereka. Akhir-akhir ini dan dalam banyak kesempatan, yang menjadi target utama dari perusahaan ini adalah bukan lagi para pengangguran, melainkan mereka yang masih aktif  menjadi karyawan di sebuah perusahaan. Istilah kerennya adalah membajak karyawan perusahaan lain. Tidak jarang terjadi, bahkan dari perusahaan klien memberikan nama-nama kepada perusahaan Executive Search untuk dibajak. Nama-nama tersebut akan dihubungi oleh Executive Search dan ditawarkan benefit yang lebih baik apabila mereka bersedia meninggalkan perusahaan yang sekarang dan bergabung dengan perusahaan klien dari Executive Search. Untuk mencegah hal ini,beberapa perusahaan besar membuat semacam peraturan bahwa karyawan mereka tidak bisa pindah ke perusahaan kompetitor sesaat setelah mereka mengajukan permohonan diri dari perusahaan tersebut. Selain itu, ada juga beberapa perusahaan yang tidak mau menerima karyawan dari perusahaan kompetitornya dengan alasan dan memang bisa saja terjadi, seorang karyawan "direlakan" dibajak dengan tujuan untuk menjadi mata-mata di perusahaan kompetitor. Setelah si karyawan tersebut mengetahui strategi bisnis dari perusahaan kompetitior, maka dia diminta untuk kembali ke perusahaan sebelumnya. Itulah dunia bisnis.
     Menjadi karyawan yang akan diburu oleh Executive Search memang bukanlah hal mudah. Hal ini disebabkan standar yang cukup tinggi yang diperlakukan oleh para Head Hunter. Tentu saja, karena mereka dibayar mahal untuk itu oleh para kliennya. Berbeda dengan JOBSTREET, dimana mereka akan menerima semua resume dari para pencari kerja yang mendaftarkan diri ke mereka. Mereka hanya mengkatergorikan latar belakang pendidikan dan atau jenis pekerjaan yang diinginkan oleh si pencari kerja. Di samping itu, proses yang harus dilalui melalui JOBSTREET lebih lama dibandingkan dengan Executive Search. Tidak heran, bagi para pencari kerja yang sudah berpengalaman di bidangnya pada umumnya lebih mendekatkan diri ke Executive Research dibandingkan ke JOBSTREET. Walaupun, JOBSTREET masih tetap dibutuhkan, bahkan oleh Executive Search sendiri. Executive Search juga dalam banyak hal masih menggunakan jasa JOBSTREET untuk mendapatkan resume yang mungkin bisa diproses untuk kebutuhan klien mereka. Intinya, untuk mendapatkan orang yang terbaik, segala macam cara dilakukan oleh mereka yang bekerja di bagian perekrutan.
     Lalu, apa yang harus dilakukan oleh mereka si pencari kerja?
  1. Siapkan CV, tentunya CV yang menjual dan benar-benar menggambarkan Anda secara profesional. Dan rajinlah meng-updatenya serta simpanlah CV Anda di tempat yang mudah Anda jangkau, misalnya di handphone, email, tab, flash disk, dsb. Jangan menunda hari keberuntungan Anda lebih lama lagi.
  2. Tidak bisa dipungkiri saat ini memang ada begitu banyak penawaran-penawaran yang dilakukan melalui telepon, baik itu penawaran kartu kredit, asuransi, dan bahkan penipuan. Oleh karena itu, kita harus tetap konsentrasi ketika panggilan telepon itu datang. Biasanya para Executive Search akan menghubungi Anda di hari kerja dengan salam yang cukup menyenangkan. Apabila saat itu, Anda tidak berada dalam kondisi yang tepat untuk menerima panggilan, Anda bisa menundanya dan memberitahukan jadwal available Anda untuk dihubungi. Atau apabila, saat itu Anda masih nyaman dengan pekerjaan Anda yang sekarang, belum berniat untuk pindah, utarakan juga hal ini dengan sopan karena Anda tidak tahu mungkin saja suatu hari nanti Anda membutuhkan mereka. Ingat yang mereka tawarkan adalah pekerjaan dimana melalui pekerjaan itu Anda memiliki peluang untuk mendapatkan upah atau posisi yang lebih baik dari yang Anda dapatkan sekarang. Di samping itu, tidak ada ruginya untuk bersikap manis dan sopan kepada mereka yang menawarkan pekerjaan.
  3. Bersikaplah sopan di dalam setiap jejaring sosial, hubungan antar pribadi, dan di lingkungan dimana pun Anda. Apabila Anda ingin dilirik oleh para Head Hunter, penilaian orang-orang yang berada di sekitar Anda sangatlah penting. Banyak orang gagal meraih karir yang lebih tinggi disebabkan perilakunya yang tidak sopan dan sesuai dengan norma sosial. Dunia ini sebesar daun talas, kita tidak pernah tahu bahwa setiap orang yang kita temui setiap harinya saling terkoneksi.
     Memiliki pengalaman di bidang rekruitment, membuatku mampu menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya yang menyebabkan jumlah pengangguran di Indonesia teramat banyak bukan hanya karena minimnya lapangan pekerjaan. Akan tetapi, tingkah laku manusia-manusia di Indonesia yang tidak memiliki jiwa profesional dan keinginan belajar yang masih di bawah rata-rata. Padahal ada begitu banyak posisi di perkantoran yang masih kosong, yang membutuhkan banyak sumber daya manusia untuk bekerja di sana. Anehnya, dari sekian ratus juta manusia di Indonesia ini, sangat minim ditemukan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Dimana, para pencari kerja tersebut banyak gagal bahkan ketika di seleksi pertama.


Monday 13 October 2014

Lampu-lampu Malam Jakarta

   
  
        Lahir dan besar di salah satu desa di Sumatera Utara (desa Sangkar Nihuta, kurang lebih delapan jam dari Medan) membuat saya memiliki impian untuk merantau ke Jakarta. Banyak alasan mengapa saya ingin sekali meninggalkan kampung halaman. Salah satu faktor penarik saya untuk merantau ke Jakarta adalah bahwa di Jakarta terdapat banyak bangunan-bangunan tinggi, dimana apabila malam tiba lampu-lampu akan dinyalakan dan itu adalah pemandangan yang sangat indah bagi saya. Pemandangan ini sangat sering saya saksikan melalui TV ketika masih di kampung. Dulu, ketika saya menikmati pemandangan ini melalui layar kaca, saya berjanji dalam hati bahwa suatu hari nanti saya akan ke Jakarta dan menyaksikan pemadangan itu secara langsung. Mungkin ini adalah impian sederhana bagi banyak orang, akan tetapi bagi orang yang lahir dan dibesarkan di desa dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan seperti saya, merantau ke Jakarta dan meninggalkan kampung halaman bukanlah seperti membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan perjuangan yang ekstra agar bisa mewujudkannya karena berhubungan dengan uang dimana uang tidak turun dari langit, bukan?
        Sekarang, sudah hampir delapan tahun saya menjadi perantau di Jakarta. Setelah menyelesaikan study saya di tingkat SMA di kampung halaman, saya pun merantau dan melanjutkan pendidikan saya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selama saya kuliah, impian saya untuk menikmati lampu-lampu Jakarta tidak langsung terwujud karena tempat saya kuliah ada di Depok, sementara untuk  menikmati lampu-lampu Jakarta membutuhkan dana yang tidak sedikit bagi mahasiswa rantau yang kere seperti saya. Walaupun demikian, impian saya untuk melihat lampu-lampu Jakarta belum pudar. Saya masih tetap berharap, bahwa suatu hari nanti saya akan menyaksikan pemandangan itu. Akhirnya hari itu pun datang. Pertama sekali saya menikmati lampu-lampu malam Jakarta adalah ketika saya berada di dalam sebuah bangunan perkantoran, yaitu tempat saya bekerja. Saya menangis saat itu. Impian saya sejak kecil akhirnya terkabul juga walaupun saat itu saya menikmatinya ketika saya sedang overtime di kantor. Hari-hari selanjutnya ketika atasan saya meminta saya untuk overtime di kantor, pemandangan Jakarta dengan lampu-lampu malamnya menjadi penghibur hati.
Di dalam kesendirian saya ketika menikmati lampu-lampu malam Jakarta, kadang kala saya merasakan ketidakadilan. Saya kecewa kepada Pemerintah yang selalu menganakemaskan Jakarta melalui pembangunan-pembangunan, salah satunya adalah dengan keberadaan lampu-lampu malam ini. Bagi saya dan mungkin anak-anak kampung lainnya yang memiliki kesenangan yang sama dengan saya, menikmati lampu-lampu malam, membutuhkan usaha ekstra untuk bisa menikmatinya. Menurut saya, perlakuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Jakarta sepertinya terlalu berlebihan. Memang benar Jakarta adalah ibukota Negara Indonesia, akan tetapi itu bukanlah menjadi alasan untuk meniadakan daerah-daerah lain di Indonesia. Setiap saat, Jakarta selalu mengalami pembangunan, ada banyak bangunan tinggi dan tentunya bangunan tinggi ini membutuhkan pasokan listrik yang tidak sedikit, misalnya pasokan listrik untuk mall-mall mewah. Tidak heran, Jakarta selalu menjadi tujuan utama orang-orang dari seluruh pelosok Indonesia, termasuk saya. Saya adalah orang yang paling tidak setuju dengan banyaknya mall-mall mewah di Jakarta. Di Jakarta ini, sepertinya keberadaan listrik tidak dipakai dengan efektif sementara di daerah di luar Jakarta, seperti di kampung halaman saya, keberadaan listrik dibatasi. Keberadaan listrik melalui lampu-lampu di jalanan dan pada bangunan-bangunan tinggi di Jakarta kebanyakan hanya untuk faktor estetika saja, dan terkesan pemborosan menurut saya.
        Terkait dengan lampu-lampu malam Jakarta, di satu sisi mungkin ini bukan hanya untuk estetika saja, melainkan juga untuk faktor keamanan, mengingat tindakan kriminal banyak dilakukan di tempat-tempat yang minim penerangan. Mengapa banyak terjadi tindakan kriminal, salah satu alasannya karena Jakarta sudah terlalu banyak manusia sementara sumber daya yang ada di Jakarta terbatas, akibatnya terjadi persaingan ketat untuk terhadap sumber daya yang terbatas itu. Kembali ke lampu-lampu malam Jakarta, satu hal yang saya tidak setuju dengan kebijkan PLN, sebagai pemasok listrik di Indonesia adalah ketika terjadinya pemadaman listrik di Jakarta. Saya memang tidak tahu-menahu secara mendetail mengenai sistem pemadaman listrik yang terjadi di Jakarta dan di kota-kota lainnya. Saya hanya tahu bahwa alasan Pemerintah dalam hal ini PLN melakukan pemadaman listrik adalah dikarenakan keterbatasan sumber daya listrik itu sendiri. Sejauh ini, saya menyadari PLN memang sudah sering melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk melakukan penghematan. Di samping itu, beberapa tahun terakhir ini, PLN juga sudah melakukan sistem prabayar dengan harapan masyarakat semakin berhemat dalam mempergunakan listrik. Hal ini merupakan kebijkan yang sangat saya apresiasi. 
        Sejalan dengan penghematan listrik, melalui tulisan saya ini, saya juga  ingin memberikan beberapa ide kepada kita semua untuk penghematan energi listrik. Untuk ide yang akan saya berikan saya akan fokus untuk di daerah Jakarta dan sekitarnya. Hal ini dikarenakan selama ini menurut saya pemborosan listrik lebih banyak terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga untuk menerapkan ide saya ini untuk seluruh wilayah Indonesia.
1.    Sebagai orang yang memiliki latar belakang pendidikan di Psikologi, saya sangat peduli dengan keberlangsungan karakter masyarakat kita, khususnya kita yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Bukan hal yang baru lagi bahwa mayoritas dari kita yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya adalah pekerja. Kita banyak menghabiskan waktu di luar rumah dengan berbagai alasan, mulai dari alasan pekerjaan kantor sampai dengan demi keberlangsungsan hubungan silahturahmi dengan mereka yang kita kenal. Hal ini membuat rumah yang kita miliki hanya sebagai tempat penginapan saja, kita pulang ke rumah apabila kita sudah benar-benar letih dan ingin tidur. Ketika pemadaman listrik terjadi, apa yang kita lakukan? Saya yakin bagi kita yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, baik yang sudah berkeluarga maupun tidak, tempat-tempat hiburan (misalnya : mall, cafe, hotel, karaokean, salon, dsb) mungkin akan menjadi pilihan utama kita. Mengapa kita kesana? Karena tempat-tempat itulah yang memungkinkan masih menyediakan penerangan. Kita enggan pulang ke rumah karena di rumah juga kita akan mati kutu tanpa adanya listrik. Sangat sedikit di antara kita yang tetap bersedia tinggal di rumah, menikmati kebersamaan dengan keluarga dengan kondisi pemadaman listrik.
Menurut saya, disinilah peran pemerintah dalam hal ini PLN dibutuhkan untuk mengkondisikan kembali masyarakat kita menjadi masyarakat yang cinta akan keluarga. Melalui apa? Apabila pemadaman listrik harus dilakukan di Jakarta dan sekitarnya, saya memiliki ide bagaimana apabila pemadaman listrik hanya dilakukan di seluruh bangunan-bangunan komersil saja, misalnya di mall, cafe, dan tempat-tempat hiburan lainnya. Sementara untuk bangunan yang terdaftar sebagai rumah, pemadaman listrik tidak terjadi. Dengan demikian, diharapkan mereka yang sedang berada di tempat-tempat komersil, akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah dan menghabiskan waktu dengan keluarga. Dan mereka yang berada di rumah juga akan lebih memilih untuk menghabiskan waktu di dalam rumah dibandingkan harus ke luar rumah karena di luar rumah pemadaman listrik sedang terjadi.
2.       Hari raya nyepi yang diadakan di Bali sepertinya juga sangat baik untuk diterapkan di Indonesia, khususnya di Jakarta. Hanya saja penerapannya hanya dengan yang berhubungan dengan listrik. Setiap wilayah di Jakarta ditetapkan hari “nyepi”, hari tanpa listrik satu hari tiap tahun dengan jadwal yang berbeda-beda untuk setiap daerah di Jakarta. Masyarakat dan perkantoran (industri) di Jakarta sebaiknya sudah diberitahukan jauh-jauh hari sebelumnya sehingga mereka mampu melakukan persiapan. Misal, pemadaman listrik dilakukan setiap tanggal 4 September untuk daerah Jakarta Barat, 18 September untuk daerah Jakarta Utara, dan demikian seterusnya.
3.   Selama ini di Indonesia selalu diadakan lomba kebersihan dan cinta lingkungan per kabupaten, untuk ke depannya Pemerintah dalam hal ini PLN akan lebih baik untuk menerapkan kabupaten/kotamadya yang paling efisien dan efektif di dalam menggunakan listrik.
             
        Saya menyadari ketiga ide yang saya paparkan di BLOG ini, bukanlah ide yang mudah untuk dilakukan, mengingat masyarakat Indonesia sudah berada di zona nyaman selama ini dan sudah sangat dimanjakan, khususnya masyarakat Jakarta dimana segala sesuatunya tersedia dalam jumlah yang besar sepanjang kami memiliki uang. Bagi kami, selama kami mampu membayar beban listrik yang ditagihkan kepada kami, siapapun tidak bisa melarang bagaimana kami menghabiskan energi listrik tersebut. Kesadaran kami akan sumber daya yang ada di sekitar belumlah sampai ke level mencintai. Karena memang demikianlah kami didik, orang tua kami, orang-orang di sekitar kami juga melakukan hal yang sama. Kami hanya sibuk memikirkan apa yang bersinggungan dengan kami secara langsung dan mencari uang sebanyak mungkin karena hanya dengan memiliki uang yang banyaklah kehidupan yang nyaman bisa diperoleh di Jakarta ini. Demikianlah pernyataan dari mayoritas masyarakat Jakarta saat ini. Pengadaan energi listrik adalah tugas Pemerintah, kami rakyat hanya tinggal membayar tagihan. Pola pikir seperti inilah yang harus kita rombak kembali. Memang benar, Pemerintah memberikan tagihan untuk setiap energi listrik yang telah atau yang akan kita pergunakan. Akan tetapi hal ini tidak menjadi hak mutlak kita untuk memakai energi listrik secara berlebihan. Orang yang tidak memiliki sejumlah uang yang sama dengan kita juga memiliki hak yang sama untuk menikmati energi listrik. Saya berharap, melalui ketiga ide yang saya paparkan di atas mampu mengubah pola pikir masyarakat untuk lebih menggunakan energi listrik dengan efisien dan efektif. Demikian halnya dengan Pemerintah dalam hal ini PLN agar lebih bekerja keras lagi di dalam melayani kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat tidak merasa apatis lagi terhadap kinerja PLN.

                

Friday 1 March 2013

Keluarga, Gereja, dan Masyarakat



Sudah tidak asing lagi bagi kita bahwa pendidikan pertama yang didapatkan manusia adalah di lingkungan rumah. Di rumah, pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang lebih dikenal dengan keluarga inti. Ada kalanya di dalam sebuah rumah terdapat nenek, kakak, om, tante atau mungkin pembantu bagi keluarga yang ada di kota besar, misalnya di Jakarta.
Saya pernah menjadi seorang konselor mahasiswa di sebuah universitas swasta di Jakarta. Masalah utama yang paling sering saya temukan pada mahasiswa yang saya konselingkan adalah hubungan antar personil keluarga inti, hubungan antara orang tua dan anak, anak dengan saudara kandung. Dimana akar dari permasalahan itu adalah minimnya komunikasi yang diakibatkan kesibukan orang tua. Orang tua lebih mempercayakan keseharian anak-anak mereka dengan manusia dewasa lain, misalnya pembantu. Hal ini mengakibatkan banyak anak-anak yang akhirnya tumbuh besar dengan kesepian. Mereka pun mengusir kesepian yang mereka rasakan dengan lebih menyayangi alat teknologinya (laptop, handphone,Tab, dsb) dibandingkan dengan orang tua dan atau saudara kandung. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh dalam kemampuan mereka untuk membina hubungan dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka tidak memiliki kepekaan terhadap pengalaman negatif orang lain, egois, anarkis, dan antisosial.
Saya memulai tulisan ini dengan kasus di atas karena masalah utama dari setiap anak yang nantinya akan menjadi anggota masyarakat dan anggota gereja adalah diawali dari pengalamannya dengan orang dewasa yang ada dalam tahun-tahun pertama hidupnya, dimana mereka itu biasanya adalah orang tua maupun saudara kandung yang mereka temukan dalam lingkungan rumah. Mereka inilah yang menjadi jemaat gereja, dan yang nantinya menjadi tokoh utama dalam pemberdayaan masyarakat, yang merupakan topik dari yang kegiatan ini. Jadi, bukan tidak mungkin apa yang terjadi dengan mahasiswa yang pernah saya konselingkan juga dialami oleh keluarga Batak Kristen. Oleh karena itu saya akan mengawalinya dari keluarga.
Di dunia psikologi, ketika seorang psikolog hendak melakukan analisa kepribadian kepada kliennya, hubungan klien dengan orang tua,  saudara kandung, atau orang dewasa yang tinggal bersama dengan dia di rumah akan menjadi pembahasan utama. Dalam kehidupan kekristenan pun Tuhan hadir memperkenalkan diri kepada manusia sebagai Bapa dan atau sebagai mempelai laki-laki. Peran yang diambil oleh Tuhan adalah peran yang sama seperti pemahaman kita mengenai keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri, persepsi seorang anak terhadap Tuhan, bisa jadi dipengaruhi oleh hubungannya terhadap orang tuanya. Mayoritas anak akan menganalogikan Bapa Surgawi itu seperti Bapa yang dia lihat di rumah. Hal inilah (mungkin) cikal bakal lahirnya pernyataan di tengah-tengah masyarakat Batak, “natuatuami do Debata na tarida”.
Dari lingkungan gereja, kita berangkat ke kehidupan bermasyarakat, mari kita singgah sebentar ke dunia bisnis. Di dunia bisnis, juga berlaku peran yang sama, HRD dianalogikan sebagai “ibu perusahaan”. Perusahaan-perusahaan mengeluarkan dana yang tidak sedikit hanya untuk menciptakan suasana rumah di kantor maupun di jasa yang mereka perjualbelikan. Orang-orang yang bergelut di dunia bisnis khususnya marketing mungkin memahami hal ini, bahwa mereka selalu berusaha menawarkan jasa yang memiliki suasana kekeluargaan. Sebagai contoh berbagai macam hotel dikonsepkan dengan suasana rumah, tempat makan dengan suasana rumah, bahkan facebook yang merupakan jejaring sosial yang paling trend di era ini - pertama kali dibuat oleh Mark Zuckrberg (penemu facebook) untuk mempermudah dia berkomunikasi dengan orang tuanya dimana saat itu dia kuliah di Universitas Harvard dan tinggal di asrama yang mengakibatkan dia jauh dari rumah.
Dari dunia bisnis, kita bergerak ke dunia politik. Apabila kita perhatikan, Barack Obama dalam masa kampanyenya menuju Gedung Putih juga mencitrakan dirinya dalam suasana kekeluargaan yang hangat dan harmonis. Langkah tim sukses Obama ini juga ditiru oleh SBY yang membawa dia ke Istana Negara selama delapan tahun. Semua orang di dunia ini merindukan rumah dan sangat menikmati segala sesuatu yang berhungan dengan nuansa rumah. Tidak jauh berbeda dengan kedua pemimpin sebelumnya, Jokowi sebagai Bupati terbaik di Indonesia juga melakukan hal yang sama, yaitu memperkenalkan rumah yang layak bagi masyarakat kaum marginal.
Dari berbagai aspek kehidupuan di atas, kita bisa melihat betapa rumah dan isinya adalah sebuah fenomena yang sangat menarik untuk ditilik. Rumah memiliki banyak makna baik tersirat maupun tertulis. Oleh karena itulah dalam setiap pemberkatan pernikahan, ketika dua pasang manusia berkomitmen untuk membina sebuah rumah tangga mereka harus melalui berbagai tahap. Pernikahan menjadi sesuatu yang sakral bagi setiap manusia, karena melalui pernikahanlah sebuah generasi baru secara sah akan dibentuk. Akan tetapi, tahapan yang seharusnya dilalui oleh setiap orang yang akan menikah ini  biasanya banyak dilupakan, bahkan berbagai pemberkatan yang terjadi di gereja bukan hal yang sakral lagi, khususnya bagi kehidupan kita sebagai orang Batak Kristen. Mengapa saya katakan tidak sakral lagi, karena :
1. Dari begitu banyak acara pemberkatan pernikahan Batak Kristen yang saya ikuti, jumlah undangan yang hadir di gereja selalu jauh lebih sedikit dari jumlah undangan yang hadir dalam acara adat ataupun resepsi.
2. Pasangan pengantin juga lebih sering mengeluarkan air mata ketika acara adat berlangsung (mangalean ulos hela) daripada saat mengucapkan janji di gereja.
3. Tidak adanya persiapan yang matang dari setiap orang yang terlibat dalam pernikahan. Orang tua calon pengantin Batak Kristen jauh lebih memfokuskan perhatian terhadap adat semetara pengantin lebih memfokuskan ke hal teknis, misalnya model kebaya, tata rias pengantin, konsep resepsi, dan sebagainya.
4.  Bagi para orang tua, kemapanan dalam hal materi adalah menjadi syarat utama untuk membina sebuah rumah tangga. Dan apabila ada dewasa muda yang telah mapan secara ekonomi belum menikah akan dicurigai memiliki penyimpangan seksualitas atau proses perjodohan pun akan berlangsung.
Alhasil apa yang terjadi? Banyak pengantin muda yang akhirnya tidak memiliki komitmen sebesar komitmen para orang tua dalam mempertahankan pernikahannya. Bertengkar, kekerasan dalam rumah tangga, tidak mampu mengurus rumah tangga tanpa kehadiran pembantu, dan akhirnya perceraian. Para pengantin muda pun gagal dalam membawa anak-anak mereka ke gereja. Mari kita survey jemaat HKBP sekarang, ada berapa banyak di antara kita yang memperkenalkan HKBP, memperkenalkan buku ende atau bibel kepada generasi muda? Dari setiap ibadah gereja HKBP bahasa Batak, bisa dihitung jumlah generasi muda yang hadir disana. Mayoritas gereja HKBP tidak memiliki generasi muda yang sanggup untuk melanjutkan perjuangan para orang tua untuk tetap meneruskan liturgi HKBP. Kendala bahasa menjadi alasan. Mengapa para generasi muda tidak memahami bahasa batak? Berarti ada yang kurang dari pola asuh yang disosialisasikan kepada generasi muda di dalam rumah.
Pengalaman saya ketika bergaul dengan generasi muda yang ada di gereja HKBP adalah bahwa mereka sangat bangga dengan ketidakberdayaan mereka dalam bahasa Batak. Mereka mentolerin kekurangan itu dengan alasan mereka tidak lahir dan besar di kampung. Terkadang, saya suka memberikan respon kepada mereka dengan mengatakan, saya tidak lahir di Inggris, tapi saya bisa memahami bahasa Inggris. Orang tua saya juga tidak pernah dan bahkan tidak mengerti sama sekali bahasa Inggris. Saya pertama kali belajar bahasa Inggris di kelas lima SD, sekali seminggu di sekolah saja dengan durasi 90 menit.
Dari hasil observasi saya terhadap kehidupan jemaat HKBP di Jabodetabek, bahwa generasi muda sekarang adalah generasi manja. Mengapa kami bisa manja, karena begitulah orang tua kami mengasuh kami. Walaupun orang tua kami menyadari bahwa mereka bisa menjadi seperti sekarang ini (survive di Jakarta), akan tetapi mereka tidak mensosialisasikan hal itu dengan baik kepada generasi muda. Banyak orang tua yang berpendapat bahwa “saya telah mengalami hal yang susah dalam kehidupan ini, maka saya akan berusaha agar anak-anak saya tidak akan pernah mengalami penderitaan lagi.” Para orang tua banyak yang melupakan atau mungkin tidak mau tahu bahwa penderitaanlah yang membuat mereka kuat dan survival. Orang tua hanya fokus melihat hal negatif dari penderitaan itu. Bahkan Paulus sendiri dalam suratnya ke jemaat di Korintus mengatakan bahwa dalam kelemahannyalah, nama Tuhan dinyatakan.
Orang tua terlalu menyayangi anak-anak dengan cara yang salah sehingga mereka lupa bahwa secara sengaja mereka telah memberikan “racun” bagi gerenasi muda. Di beberapa keluarga, saya menemukan banyak orang tua yang lebih bangga anak-anak mereka pintar secara akademis, fasih berbahasa Inggris, akan tetapi tidak memiliki kemampuan untuk hidup mandiri, bahkan ketika ditinggal orang tua di rumah hanya sehari saja, sudah seperti itik kehilangan induk. Dari hasil obeservasi saya juga, banyak orang Batak yang telah sukses, menjadi profesor, pengusaha sukses, akan tetapi anak-anak mereka menjadi anak-anak manja dan selamanya selalu bergantung kepada mereka. Sangat sedikit saya lihat orang Batak yang sukses di Indonesia ini, juga sukses dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka bisa menjadi seorang pemimpin di kantor, tegas, tapi tidak untuk anak-anak mereka.
Lalu untuk semua kegagalan orang tua dalam mensosialisasikan yang baik itu kepada generasi muda, lahirlah tindakan untuk mencari kambing hitam. Menyalahkan anak-anak yang sulit diatur, guru yang tidak mampu melakukan perannya, menyalahkan pendeta, dan bahkan pemerintah. Anak-anak tawuran, membangkak, tidak mau diajak beribadah, merokok, tidak mau belajar budaya Batak, dan bahkan setelah menjadi dewasa muda menjadi para koruptor dan cinta uang. Kita lupa untuk mengkritisi diri sendiri, mengenai apa yang telah dan tidak kita lakukan.
Misalnya, kita mengkritisi para pendeta, tidak puas dengan pelayan pendeta. Sekarang, mari kita mulai intropeksi diri. Tahukah kita siapa pendeta itu? Semoga saya salah, tapi dalam kehidupan sehari-hari, banyak saya temukan bahwa mereka yang menjadi pendeta HKBP itu adalah mereka yang tidak berprestasi di sekolah, yang memiliki catatan buruk di rumah, dimana orang tua sudah menyerah dalam membinanya. Sementara anak-anak Batak yang berprestasi kemana? Orang tua Batak akan memaksakannya untuk masuk Perguruan Tinggi, memilih jurusan kedokteran, hukum, teknik dan sebagainya. Saya bukannya ingin menklasifikasikan mereka yang tidak berprestasi di sekolah. Akan tetapi, jikalau kita menginginkan pendeta dengan pelayanan yang memuaskan mengapa kita tidak mempersiapkan anak-anak kita untuk menjadi seperti itu? Abraham memberikan anak satu-satunya untuk Tuhan, bukan anak yang dia tidak mampu bina atau bukan anak  yang sering sekali memberikan kekecewaan.
Apakah kita menyadari bahwa pendeta itu adalah seorang anak di dalam keluarga? Bisa jadi kitalah orang tua yang telah melahirkan dan mengasuh mereka. Mengapa mereka tidak bisa melakukan peran dan fungsinya dengan baik, tentu saja karena kita sebagai orang tua telah gagal memberikan contoh yang baik kepada mereka. Anak-anak yang sekarang Tuhan titipkan kepada kita juga memiliki peluang untuk menjadi sampah masyarakat, koruptor, dan mungkin teroris jikalau kita tidak mempersiapkan diri dengan secara mental, psikologis, dan iman di dalam memulai sebuah keluarga.
Dari hasil pengamatan saya juga, saya memberikan kesimpulan bahwa Indonesia menjadi salah satu Negara terkorup, keterlibatan orang Batak di dalamnya sekitar  70 % . Orang Bataklah banyak menyumbang  kekacauan perekonomian di Negara kita ini. Mari kita lihat para pengacara Batak, beberapa kali memutarbalikkan fakta, yang salah menjadi benar yang mengakibatkan Negara rugi milyaran rupiah dalam usahanya membela para koruptor.  Mengapa mereka bisa menjadi seperti itu? Karena pola asuh yang kita terima di rumah, hidup untuk uang. Orang tua membiayai study anak-anaknya tujuannya hanya satu, agar mendapatkan uang yang banyak nantinya saat dia telah lulus kuliah. Sangat jarang diantara orang tua sekarang yang menyekolahkan anaknya hanya untuk agar anaknya bisa menjadi manusia. Hal ini terdoktrin di hati setiap anak, yang akhirnya menghalalkan segala cara untuk membahagiakan orang tua, yaitu mengumpulkan uang yang banyak. Korupsi, mencuri, dan menipu pun dilakukan.
Beberapa teman-teman saya memiliki impian untuk menjadi seorang ibu dan menjadi seorang ayah. Ketika saya tanyakan kepada mereka, apa yang kamu bayangkan ketika kamu menjadi seorang ibu atau ayah. Jawaban mereka adalah memiliki anak. Bagaimana hubunganmu dengan anakmu suatu hari nanti dalam bayanganmu itu? Mereka pun menjawab semuanya akan berjalan dengan apa adanya. Mereka tidak bisa memaparkan hubungan mereka dengan calon anak-anak mereka nantinya. Bagi mereka, menikah dan memiliki anak itu sudah cukup. Tidak ada pemikiran, hendak memberikan pola asuh seperti apakah nantinya kepada anaknya? Teman-temanku yakin bahwa semua itu akan didapatkan seiring dengan berjalannya waktu. Dalam bahasa Batak dikatakan tupa disi do i sude. Perbincangan yang sama juga setali tiga uang terjadi di antara anak yang sudah mapan secara materi dengan orang tua mereka. Orang tua akan memaksakan anak-anak mereka untuk menikah, bagi mereka, mereka akan telah bisa berpulang ke rumah Bapa apabila semua anak-anaknya telah menikah. Saya tidak mengatakan hal itu salah. Setiap orang berhak memiliki impian, akan tetapi akan lebih baik apabila impian itu juga didukung dengan keinginan untuk mempersiapkan setiap anak melahirkan anak-anak yang bisa diharapkan. Seperti kata Mak Gondut dalam film Demi Ucok, “Hidup itu untuk sesama, baru berarti.” Tidak cukup menikah dan punya anak atau memaksakan anak-anaknya untuk menikah tanpa memberikan pelatihan mengenai kehidupan pernikahan tapi juga harus bisa melahirkan anak-anak yang nantinya mampu berperan positif di tengah-tengah masyarakat. Kalau toh, mau melahirkan manusia yang tidak berkepribadian baik, untuk apa? Dunia ini sudah terlalu sesak dengan manusia-manusia seperti itu.
Kalaupun orang tua atau orang yang dituakan tidak bisa dijadikan panutan, banyak media yang bisa dipergunakan untuk menggali informasi. Asalkan kita memiliki niat dan visi misi dalam hidup, bahwa kita tidak mau pernikahan kita hanyalah sekedar status di KTP atau ajang gengsi-gengsian di kehidupan sosial. Akan lebih baik bagi para calon pengantin muda, untuk menghabiskan waktu lebih banyak dengan mempersiapkan mental, wawasan, psikologis sebelum mengubah status kehidupan. Kalau kita bisa menghabiskan waktu untuk melakukan penelitian kecil-kecilan mengenai design kebaya, konsep pernikahan, gedung, dan sebagainya, hal yang sama juga perlu kita lakukan untuk belajar mengenai dinamika pernikahan. Waktu untuk mempersiapkan hal-hal teknis sebaiknya dikurangi yang hanya akan berlangsung paling lama 24 jam. Sementara selesai pemberkatan, resepsi, kita tidak mempersiapkan mental untuk itu. Tenaga kita lebih terkuras selama berbulan-bulan hanya untuk mempersiapkan resepsi yang hanya untuk satu hari. Saya bukannya anti dengan perayaan, akan tetapi jangan sampai kita lebih memberikan perhatian kita kepada hal-hal yang sifatnya lebih sementara atau hanya pencitraan saja sampai kita lupa makna dari pernikahan itu sendiri.
Lalu langkah-langkah apa sajakah yang bisa kita lakukan dalam memanusiakan manusia, khususnya jemaat HKBP yang nantinya akan menjadi anak panah gereja dalam memberdayakan masyarakat melalui pendidikan :
1.       Kesiapan mental, psikologis, dan iman setiap pasangan yang ingin menikah sebaiknya lebih diasah lagi. Kemapan secara ekonomi bukan menjadi tiket emas untuk memasuki bahtera rumah tangga. Hal ini bisa dilakukan dengan adanya konseling pra-nikah minimal tiga bulan sebelum pernikahan di setiap gereja HKBP. Dan yang melakukan konseling sebaiknya adalah mereka yang memiliki pengetahuan konseling.
2.       Follow – up dari orang tua, jemaat, pendeta dalam membantu pasangan ketika memasuki bahtera rumah tangga tersebut. Pekerjaan pendeta tidak selesai sampai di pemberkatan. Pendeta dan sintua harus tetap memperhatikan kebutuhan para pasangan muda dalam mengkayuh perahu rumah tangga. Misalnya dengan membuka Focus Group Discussion (FGD) di gereja. Sementara orang tua harus memberikan kepercayaan bahwa anak-anak mereka telah tumbuh dewasa sama seperti mereka. Anak-anak mereka bukan anak-anak lagi, oleh karena itu mencampuri rumah tangga mereka adalah tindakan yang tidak efesien, tetapi jadilah sama-sama duduk dan berdiri sebagai sesama orang dewasa. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kepercayaan kepada anak bahwa mereka harus bisa mengatasi setiap masalah yang ada dalam hidupnya. Komunikasi dalam keluarga sebaiknya lebih ditingkatkan. Misalnya setiap orang yang ada di rumah wajib memberikan salam kepada orang yang ada di rumah setiap kali hendak meninggalkan rumah ataupun telah tiba di rumah. Di samping itu, orang tua juga perlu memperkenalkan sejak dini mengenai uang dan cara mengelolahnya, mengenal konflik dan cara menyikapinya, termasuk belajar untuk menerima kegagalan tanpa harus menjadi stres.
3.       Program-program di gereja semakin ditingkatkan untuk semua tahap kehidupan dan antar tahap kehidupan saling membantu. Perkembangan iman anak sekolah minggu bukan hanya tanggung jawab guru sekolah minggu, akan tetapi tanggung jawab semua jemaat yang ada di dalam gereja. Demikian halnya dengan komunitas lansia, bukan hanya tugas pendeta atau sintua, tetapi anak-anak sekolah minggu juga bisa dilibatkan untuk memberikan perhatian kepada para lansia. Contoh kegiatan yang bisa dilakukan misalnya, setiap lansia diwajibkan untuk mendongeng di ibadah sekolah minggu secara bergantian. Anak sekolah minggu setiap tahun diajak untuk membuat kartu natal atau kartu ulang tahun kepada setiap kaum lansia yang ada di gereja dan mengantarnya langsung ke rumah lansia, syaratnya lansia yang akan diberikan bukan nenek atau kakek kandung dari anak sekolah minggu. Setiap minggu pertama, para naposo dan remaja manortor atau menyanyikan lagu Batak di depan gereja setelah ibadah bahasa Batak. Jadi, jemaat memiliki kesempatan untuk mengeksplor budaya Batak dan silahturahmi antar jemaat terjalin sambil menikmati aksi naposo dan remaja.
Aksi ini pastinya membutuhkan latihan, jadi para naposo dan remaja tidak melulu ke gereja untuk belajar Alkitab melainkan juga dapat mengembangkan bakat dan talenta mereka. Sebaiknya semua hobby naposo dan remaja didata kembali untuk bisa dikembangkan.
4.       Berhenti untuk mencari kambing hitam. Bukan salah pendeta, bukan salah sintua, bukan salah naposo, tapi salah kita semua. Oleh karena itu, mari kita memulai dengan melakukan peran kita masing-masing dengan lebih baik. Kalau di kantor kita bisa selalu berusaha untuk bersikap profesional, di rumah dan di gereja pun kita harus berusaha untuk profesional dalam iman. Sikap keprofesionalan itu hanya akan bisa ditiru oleh anak-anak kalau kita semua yang telah memiliki pemikiran atau dalam bahasa Batak angka naung marroha, sudah saatnya bangun dari tidur dan membenahi diri untuk bisa menjadi terang dan garam.
Di samping pendidikan non formal yang telah saya sebutkan di atas, pendidikan formal anak juga perlu menjadi perhatian kita. Biar bagaimana pun, gelar akademis masih tetap menjadi impian setiap orang tua Batak terhadap anak-anaknya. Tentu saja hal ini tidak terjadi begitu saja. Keterlibatan orang tua dalam pendidikan formal anak bisa dimulai dari penelitian kecil-kecilan mengenai sekolah yang sesuai dengan anak. Jarak antara sekolah dan rumah dan budaya di sekolah itu (apakah sekolah berbasis Internasional, sekolah homegen baik dari agama, latar belakang suku, maupun tingkat sosial) perlu menjadi pertimbangan dalam memilih sekolah. Kita juga perlu memperhatikan keadaan psikologis anak ketika kita memilih sekolah. Hal ini tidak perlu harus konseling ke psikolog, kita adalah orang tua mereka, sedikit banyak kita lebih mengenal kepribadian anak-anak kita, asalkan kita bisa objektif terhadap keadaan anak-anak yang Tuhan berikan kepada kita. Rasa gengsi dan ego yang berlebihan orang tua terhadap anak sebaiknya perlu diminimalisir agar tidak terjadi perdebatan yang pada akhirnya menimbulkan luka di hati anak sehingga anak tidak bisa berprestasi dengan baik di sekolah.
Berikut adalah langkah-langkah konkrit yang bisa menjadi bahan pertimbangan untuk para orang  tua di dalam memilih sekolah formal.
1.       Anak 4-5 tahun, apabila orang tua masih memungkinkan memiliki waktu yang banyak di rumah dengan kata lain suami-istri tidak bekerja, pendidikan formal anak bisa dimulai dengan mengikutertakan anak dalam Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pilihlah Program PAUD yang jaraknya dekat dengan rumah anda, sehingga tidak membebani anak dengan jarak tempuh yang jauh. Anak-anak biasanya akan cepat bosan di perjalanan apabila jarak tempuh antara tempat program PAUD dan rumah jauh. Karakteristik anak-anak yang mengikuti program PAUD juga bisa menjadi pertimbangan untuk orang tua dalam mengawali karir anak di pendidikan formal. Mungkin anda menginginkan anak anda diajari dalam lingkungan agama tertentu atau agama yang heterogen juga tidak apa-apa. Akan tetapi jauh lebih baik apabila anak anda sejak dini telah diperkenalkan ke dalam komunitas yang memiliki perbedaan untuk membantu dia dalam bertoleransi antar umat beragama maupun ras serta strata sosial.
2.       Apabila Anda memiliki materi yang cukup, Taman Kanak-kanan menjadi pilihan yang tepat dalam memberikan stimulus mengenai dunia belajar terhadap anak-anak. Selain anak Anda belajar untuk bangun pagi, anak Anda juga bisa belajar untuk mulai mengenal lingkungan yang lebih luas, misalnya arah, bentuk, warna, dan angka. Program yang ditawarkan oleh sekolah TK yang nantinya akan Anda pilih tentunya harus menjadi syarat utama. Jangan sampai niat Anda dalam memperkenalkan dunia sekolah kepada anak Anda membuat dia trauma dengan beban sekolah yang memberatkan dia. Tapi, bukan berarti juga Anda menjadi orang tua lemah dan tidak tegas yang tidak bersedia melihat anak Anda memiliki tanggung jawab. Sekolah TK adalah langkah awal untuk memperkenalkan tanggung jawab dan komitmen terhadap anak. Kita orang tua harus menyadari bahwa tahap ini bukanlah tahap yang mudah untuk dijalani oleh anak-anak kita. Banyak anak-anak akan merasa cemas dan takut di tahap ini. Peran orang tua adalah mendampingi mereka dengan memberikan kepercayaan bahwa dia tidak sendirian, ada Anda yang akan bersama-sama dengan dia dalam menjalaninya.
Jika Anda adalah orang tua yang sangat sibuk dan memiliki materi yang cukup, dimana dalam kesehariannya anak Anda akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan pembantu, mengikutsertakan anak dalam les musik, olah raga atau les tari adalah pilihan yang baik.  Asalkan dalam pemilihan kegiatan ini, orang tua tetap fokus terhadap kebutuhan anak, bukan sebagai proyeksi demi terlaksananya obsesi Anda yang tertunda atau gengsi terhadap masyarakat.
Sementara apabila keuangan Anda tidak mencukupi untuk memasukkan anak Anda ke TK, jangan patah hati. Anda bisa mendampingi anak Anda dalam proses pembelajaran ini. Yang anda butuhkan hanyalah hati yang bersedia menjadi fasilitator bagi anak Anda. Banyak media yang bisa membantu Anda dalam memberikan stimulus kepada anak Anda, misalnya majalah, koran, internet, dan buku.
3.       Memasuki dunia SD, anak-anak sudah mulai memiliki bayangan mengenai dunia sekolah walaupun ketakutan dan kecemasan mereka masih menguasai mereka. Pendampingan orang tua masih sangat dibutuhkan dalam tahap ini, khususnya di tahun-tahun pertama dia masuk SD. Akan lebih baik jikalau orang tua tidak memberikan tuntutan yang berlebihan terhadap anak, misalnya menuntut anak untuk juara satu di kelas. Orang tua bisa memberikan standar kepada anak sesuai dengan hasil observasi orang tua terhadap anak mengenai keadaan anak.
4.       Di bangku SMP dan SMA adalah masa yang paling rawan kepada anak-anak kita. Tahap inilah mereka mulai mengalami pubertas dan mengharapkan pengakuan bahwa mereka telah dewasa. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam memilih sekolah formal kepada anak Anda adalah menanyakan pendapatnya dan membandingkannya dengan kemampuan si anak. Ingat, kebutuhan anak Andalah yang paling penting, bukan rasa gengsi Anda.

Saya tahu menjadi manusia bukanlah hal yang mudah. Ketidaksempurnaan kita menjadi manusia akan selalu memberikan warna bagi kehidupan kita. Peran orang tua, anak, pendeta, guru, dosen, dan apapun itu akan selalu dikritisi dan dituntut untuk memberikan yang terbaik. Walaupun kita tahu bahwa betapa tidak menyenangkannya menjadi orang yang dikritisi atau dituntut tapi ada kalanya kita juga melakukan hal itu kepada manusia yang lain. Itu karena kita adalah manusia berdosa, kita membutuhkan Tuhan dalam kehidupan kita. Dan Tuhan, tidak menampakkan diri secara langsung lagi seperti di Perjanjian Lama, melainkan dalam berbagai bentuk dan keadaan. Seperti anak kecil yang ketakutan memulai hari pertama sekolah, seperti itulah keadaan manusia yang selalu ketakutan dalam menjalani hari-harinya. Karena kita semua berada pada posisi yang sama, marilah kita bersama-sama untuk melewatinya dengan menciptakan karya yang bisa mengusir rasa takut atau perasaan negatif lainnya. Akan selalu ada konflik, itu bagus, tapi jangan menghindar. Hanya dengan konfliklah kita tahu dimana posisi dan peran kita masing-masing, karena itu mari kita jadikan konflik itu untuk memberdayakan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita.
Orang Batak Toba terkenal di Indonesia karena kemauan yang kuat dalam hal pendidikan. Mari kita tingkatkan kembali identitas kita itu dengan berkarya bagi  sesama. Sebelum menutup tulisan ini, saya meminta kepada setiap orang yang hadir di sini untuk menuliskan dalam selembar kerta, apakah yang bisa Anda berikan kepada masyarakat? Silahkan tulis nama dan nomor yang bisa dihubungi, kita yang ada disini sama-sama ingin berkomitmen untuk berpantang mati sebelum berkarya.

Wednesday 23 January 2013

Memberi versus Menerima

Kerap sekali dalam kehidupan ini aku mendengar bahwa MEMBERI LEBIH BAIK DARIPADA MENERIMA. Semula aku berpikir, mulia sekali orang yang bisa mengaplikasikannya dalam kehidupannya. Dimana secara kasat mata, bahwa orang yang memberi adalah malaikat sementara orang yang menerima adalah pengemis, yang kebutuhannya selalu menerima dan menerima. Dengan kata lain kedudukan orang yang memberi jauh lebih bermoral daripada kedudukan orang yang menerima. Mereka yang memilih peran MEMBERI menjadi orang Samaria yang baik hati yang sudah dapat dipastikan akan masuk surga dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Dan aku tahu, semua agama di dunia ini pasti mengajarkan hal itu kepada jemaatnya, yakni beramai-ramai untuk memberi (baca. bersedekah).

Dan itu tidak salah, aku tidak anti dengan hal itu. Tulisan ini bukan bertujuan untuk itu. Melalui tulisan ini, aku hanya ingin meluangkan pemahamanku mengenai sebuah pernyataan yang dulunya aku mengerti dari satu sisi saja. Sekarang aku mencoba untuk memandangnya dari angle  yang lain. Hal ini juga didukung  dari berbagai hasil  observasiku mengenai interaksi antara manusia di sekitarku. Pemahamanku mulai berkembang bahwa pernyataan di atas ternyata tidak sesimpel yang aku bayangkan sebelumnya.

MEMBERI LEBIH BAIK DARIPADA MENERIMA.

Dari berbagai interaksi manusia yang aku observasi, aku menemukan berbagai fenomena yang menarik untuk dianalisa. Memberikan komentar terhadap gaya berpakaian seseorang jauh lebih menyenangkan daripada menerima komentar tersebut. Apalagi, apabila komentar tersebut adalah komentar yang bertolak belakang dengan apa yang diharapkan oleh si objek yang kita komentari. Terlepas apakah komentar kita itu positif atau negatif, intinya menerima komentar itu akan jauh lebih membutuhkan daya yang lebih besar daripada daya yang dibutuhkan ketika si subjek memberikan komentar tersebut. 

Dan bukan suatu kebetulan juga aku memiliki latar belakang psikologi yang membuatku semakin menyadari bahwa inti dari ilmu itu adalah MENERIMA, dalam hal ini difokuskan dalam PENERIMAAN AKAN DIRI SENDIRI. Setiap manusia di dunia ini lahir sebagi objek yang telah terberi. Lahir sebagai perempuan, laki-laki, di keluarga yang cukup secara materi, dengan atau tanpa orang tua, anak tunggal atau memiliki saudara kandung, kulit hitam atau putih, rambut keriting atau lurus dan sebagainya. Itu adalah beberapa hal yang telah terberi bagi kita sejak jantung kita berdetak di planet ini. 
Kesempatan yang kumiliki untuk bersinggungan dengan berbagai karakter di Jakarta ini membantuku dalam pemahaman mengenai perilaku manusia khususnya yang terkait dengan  pernyataan di atas. Satu pemahaman yang kudapat adalah bahwa ternyata, pmahaman itu bukanlah semata-mata menjadi sabda untuk menjadi salah satu tiket  masuk surga. Melainkan kalau kita duduk dan mengizinkan diri kita untuk memandang sekitar, ada proses yang membentuk lahirnya pernyataan itu, yang tentu saja bisa diterima oleh logika manusia.

Sebagai contoh sederhana, orang tua memiliki peran untuk MEMBERI kehidupan yang layak bagi anak-anak mereka. Anak-anak memiliki peran untuk MENERIMA kehidupan itu dari orang tua mereka. Menurut persepsi orang tua, peran anak-anak mereka sangatlah mudah dilakukan, yaitu menerima kehidupan yang telah diberikan. Di kehidupan nyata, yang terjadi tidak segampang mengedipkan mata. Orang tua mengatakan, "Tinggal menerima saja, apa susahnya, sih?"

Posisi yang sama juga dialami oleh orang tua. Orang tua tidak mampu MENERIMA respon yang DIBERIKAN oleh anak-anaknya setelah semua yang telah mereka perjuangankan untuk mereka. Anak-anak juga mengatakan, "Menerima aku sebagai anak, apa adanya, apa susahnya, sih Ma, Pa?" 

Dari contoh di atas dapat kita lihat betapa lebih baiknya menjadi subjek yang MEMBERI. Ketika kita diperhadapkan pada posisi untuk menerima, yang ada adalah amarah, kekecewaan, sakit hati yang pada akhirnya menghambat kita untuk menikmati sinar matahari. Kegagalan kita dalam menerima membuat kita melakukan penolakan, meniru perilaku orang lain, proyeksi diri, serta berbagai bentuk pertahanan diri lainnya yang kita lakukan, yang kita tahu bahwa kita tidak bahagia dengan pilihan kita. Kita tidak mau mengakui diri dan berjuang untuk MENERIMA.

Secara tidak  kita  sadari, kita telah terdoktrin bahwa menerima itu adalah hal yang mudah. Semudah menerima uang jajan dari orang tua kita yang membuat kita melupakan bahwa proses yang kita lalui sebelum dan sesudah transanksi MEMBERI dan MENERIMA itu masih terus membutuhkan daya. Sebelum meminta uang jajan kepada ayah kita, kita terlebih dahulu harus latihan acting di depan ayah kita. Memberikan  keyakinan bahwa kita membutuhkan uang jajan itu. Setelah transanksi selesai, kita masih harus memikirkan bagaimana dan untuk apa uang itu kita fungsikan. Apakah membeli makanan atau minuman. Kalau makanan, makanan apa yang sesuai dengan uang itu. Sementara bagaimana dengan ayah kita yang telah MEMBERI uang jajan tersebut? Si ayah melanjutkan hidupnya dan melupakan itu semua. Si ayah tidak akan mengeluarkan energi mengenai uang itu lagi.

Hukum ini juga berlaku dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Pasangan Jokowi dan Ahok selaku Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang baru memberikan program kepada masyarakat Jakarta agar tidak membuang sampah ke sungai. Yang terjadi adalah belum ada sebulan, masyarakat Jakarta tidak bisa menerima program itu, sungai yang tadinya sudah dinetralisir dari sampah kembali menjadi pembuangan sampah oleh masyarakat. Dan banjir pun mengepung Jakarta.
Para elite politik maupun pejabat pemerintah diberikan wewenang dan tanggung jawab, kita bisa membaca dan mendengar dari media bagaimana respon mereka dalam menerima hal itu. Anak-anak jalanan dan pengemis berulang kali diberikan penyuluhan, akan tetapi mereka tidak mampu menerimanya. Alhasil, mereka masih kerap sekali kita temukan di  jalan-jalan Jakarta.
Tuhan Yesus sendiri ketika hidup di dunia pernah mengatakan bahwa akan selalu ada orang miskin di antara kamu. Tentu saja, karena mereka tidak mau MENERIMA. Dan Tuhan Yesus telah menyadari hal itu, selama kita belum mau MENERIMA, maka keadaan kita tidak akan bergerak ke arah yang lebih baik. Dan, mengapa sampai terjadi hari Paskah juga karena manusia tidak mampu MENERIMA-Nya.

Banyak kasus-kasus psikologi, misalnya stres, kecemasan, psikopat, schizophrenia, dan masih banyak yang lain disebakan oleh ketidakmauan kita dalam MENERIMA. Akar permasalahannya dari setiap ketidaknyamanan hidup kita erat kaitannya dengan MENERIMA.

Aku jadi teringat pengalamanku ketika di tahun pertama aku kuliah. Aku tidak memiliki uang untuk biaya kuliah dan untuk kebutuhanku sehari-hari. Lalu aku bertemu dengan Prof. Sarlito Sarwono di ruangannya. Beliau menanyakan kepadaku, "Rani, maukah kau aku bantu?" 
Pernyataan yang diberikan oleh Prof. Sarlito kepadaku saat itu, sepersekian detik membuatku bertanya dalam hati, mengapa pertanyaan itu yang diberikan kepadaku? Seiring berjalannya waktu akhirnya aku pahami bahwa MENERIMA itu jauh lebih sulit dibandingkan MEMBERI. Bagi seorang Prof. Sarlito memberikan aku uang tidaklah memerlukan energi sebesar yang aku keluaarkan. Seperti contoh ayah di atas, sejumlah uang yang diberikan oleh Prof. Sarlito padaku mungkin tidak pernah diingat oleh beliau lagi. Akan tetapi, bagiku? Perjalananku masih belum berakhir seperti berakhirnya proses transanksi itu. Aku masih memikul  beban itu. Aku harus mempertanggungjawabkan sejumlah uang yang diberikan kepadaku. Selamanya ini akan menjadi  "beban" bagiku, seumur hidupku. 

Aku belajar untuk menerima keadaanku saat itu. Bukan hanya menerima sejumlah uang itu. Tetapi juga menerima semua tanggung jawab yang mengikutinya. Bukan hal yang mudah bagiku untuk selalu menerima uang tiap bulan dari orang yang sama sekali tidak pernah kukenal. Menerima  uang dari orang tua saja terkadang membuat kita merasa berutang budi, apalagi kepada orang yang tidak saling mengenal satu sama lain. Tapi aku tidak mau terlena dengan keadaan itu, aku berusaha untuk menerimanya dengan mengizinkan hal itu terjadi. Aku tidak melakukan penolakan, aku terima, dan aku menyadari keadaanku. Aku tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain atau meratapi diri sendiri. Yang perlu dilakukan adalah MENERIMA keadaan.

Aku tahu, menerima itu adalah pekerjaan mental yang paling sulit untuk dilakukan. Tapi sebagai manusia dewasa hal itu harus dilakukan! Tidak ada pilihan lain untuk dapat menikmati hidup dengan nyaman, selain menerima. Menerima bahwa matahari tidak akan selalu bersinar, menerima akan selalu ada hujan, menerima akan ada perpisahan dan pertemuan. Menerima akan selalu ada peluang terjadinya konflik. Menerima bahwa akan ada masanya menangis dan tertawa, menerima akan ada waktunya bekerja dan pengangguran.
Yeah, inti dari kehidupan ini adalah MENERIMA, menerima bahwa aku adalah manusia dengan segala emblem yang menempel di atasnya.

Jadi, mau memilih peran yang cenderung MEMBERI atau MENERIMA?
Apapun pilihanmu, terimalah.