Skip to main content

Posts

halak batak do ho? (2)

Aku adalah perempuan Batak Toba. Dibesarkan dengan adat Batak Toba. Jadi, tidak perlu heran kalau sedikit-banyak aku cukup familiar dengan segala sesuatu yang berbau Batak Toba. Khususnya mengenai marga-marga yang masih bersinggungan denganku ataupun dengan beberapa filosofi adat Batak Toba.Walaupun harus aku akui dengan sangat tegas proses pembelajaranku belum sempurna. Dengan kata lain, pengetahuan yang kumiliki mengenai adat Batak masih lebih sedikit dari apa yang belum aku ketahui. Oleh karena itulah, dalam berbagai kesempatan aku selalu berusaha untuk mempelajari adat Batak Toba tersebut, misalnya melakukan observasi di dalam setiap event Batak Toba, khususnya dalam pesta pernikahan atau adat dalam suasana kematian. (Sekilas info, cara cepat untuk mempelajari adat Batak Toba adalah dengan hadir dan menyimak pesta-pesta adat Batak Toba, jadi jangan malas mengikuti adat Batak Toba kalau memang ingin menambah wawasanmu tentang adat Batak Toba!) Ada banyak prinsip kehidupan yang san

halak batak do ho?

Adong do sada sungkun-sungkun di rohaku taringot na martondong di hami halak batak. Godangan hubereng di hami halak batak, molo ro tubu ni anggina manang tutur na sian huta lao tinggal di jabuna, antar lao sadia leleng  sai intor marsigorgor  do elat di roha na. Dang boi dibahen ianokhon ni tutur na i gabe songon tubu na sandiri. Intor mardikan do holong i dibahen. Apalagi molo tutur na ro i sian huta manang lebih huta sian huta na ditopot na i. On ma sada na mambahen tubu di roha ni angka na naeng mangaronto, dang olo mandege jabu ni tutur na. Tumagon ditaon-taon marsikor manang didia daripada ingkon tinggal di jabu ni tutur na. Godang hubereng na masa songon on. Molo ro tutur na sian huta, paula so disangko. Intor merasa diri sok kota ma angka jolma na tinggal di Jakarta on. Hape molo ni rimangan, dao dope lebih berkualitas angka halak na tubu jala magodang di huta daripada angka jolma na tubu jala magodang di Jakarta on. Tung so binoto do angka aha na dihaginjangkon na. Sai di

SETETES TAPI BENING

SETETES TAPI BENING Ayah saya adalah tukang becak. Pekerjaan ini telah ditekuni ayah saya sejak saya duduk di bangku kelas tiga SD. Sebelumnya, ayah saya bekerja sebagai pedagang topi, dompet, dan ikat pinggang ke setiap desa di kecamatan kami. Kegiatan ini langsung terhenti karena barang dagangan ayah saya tidak laku. Alhasil, semua barang dagangannya dikembalikan ke grosir dan kemudian ayah saya membeli sebuah becak. Setelah becak itu dibeli, ayah menuliskan sebuah frase “setetes tapi bening” di belakang becaknya. Waktu itu, saya tidak mengerti arti dari kata-kata tersebut, akan tetapi entah mengapa saya senang dengan kata itu. Saya sering mengulang-ulangnya di hati saya. Suatu hari, ayah saya dan teman-temannya sesama tukang becak berbincang-bincang di rumah saya. Waktu itu, saya sedang menonton dimana jarak saya dengan ayah dan teman-temannya hanya sekitar dua meter, mau tak-mau saya mendengar apa yang sedang mereka obrolkan. Telinga saya lebih saya fokuskan ke pembicaraan me