Friday 7 September 2012

halak batak do ho? (3)

Nama adalah sebuah kumpulan huruf yang sangat bermakna bagi masyarakat Batak Toba. Hampir setiap nama yang diberikan kepada seorang Batak Toba, memiliki kisah yang terlalu indah untuk dilupakan. Nama  juga adalah sesuatu yang sakral bagi masyarakatku, khususnya setelah menikah. Adalah sesuatu yang sangat tabu untuk menyebut atau memanggil nama orang yang telah menikah walaupun dia  lebih muda dari kita. Apabila sudah mengalami pubertas, biasanya  yang saling bersaudara kandung  akan berhenti memanggil nama satu sama lain, yang digantikan dengan menyebut "ito". Di keluargaku sendiri, kami sangat didoktrin dengan sangat tegas untuk tidak memanggil nama orang yang lebih tua dari umur kami. Apabila hal ini dilanggar, maka mamaku tidak akan segan-segan memukul kami. Dan pastinya, pukulan itu tidak pernah terlewatkan olehku. Berulang kali tangan orang tuaku selalu melayang ke tubuhku setiap kali aku tidak sengaja atau sengaja memanggil abang dan kakakku dengan  nama mereka.

Jadi jangan heran, kalau di antara orang Batak Toba banyak yang tidak tahu nama opung, tulang, nantulang, amang boru, namboru, bapatua, oma tua, etc mereka. Bahkan, aku sendiri tahu, nama orang tuaku ketika tidak sengaja  melihat KTP mereka. Karena di beberapa data keluarga, misalnya raportku, nama orang tuaku disingkat menjadi L. Nainggolan. Sementara nama mamaku sepertinya tersembunyi bergitu aman bagaikan uang di bank. Inilah fenomena saking begitu sakralnya nama itu sehingga dia tersimpan rapi dan hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya. Saya sendiri lebih dikenal sebagai Rani, putri si Nainggolan tukang becak, dibandingkan dengan Rani putri dari Bapak Lukman.

Adalah sesuatu yang menyedihkan bagi kami, apabila teman-teman sebaya mengetahui nama orang tua kami. Dalam beberapa event, itu akan menjadi senjata yang paling mutakhir untuk menjatuhkan harga diri kami. Sebaliknya, adalah sebuah prestasi yang luar biasa bagi kami ketika kami mengetahui nama orang tua dari teman-teman kami. Karena itu akan menjadi senjata bagi kami untuk merasa menang dari teman-teman sebaya kami. Bagi sebagian anak yang terlahir menjadi dominan alias pemalak, ini menjadi senjata mereka untuk memeras anak yang bersangkutan.

Semakin banyak yang tahu nama orang tua kita, maka semakin tidak leluasalah pergaulan kita, karena setiap kali kita melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma pertemanan, maka disitulah nama orang tua kita akan diperdengarkan. Dan entah mengapa, sangat menyakitkan sekali, setiap kali orang lain menyebut nama orang tua kita, walaupun yang menyebut nama orang tua itu adalah teman yang dengan dia, kita paling banyak menghabiskan waktu.  Padahal kalau dipikir-pikir, memang apa yang salah kalau orang lain menyebut nama orang tua kita? Bukankah nama memang dibuat untuk dipanggil?
Keadaan akan semakin memanas apabila yang tahu nama orang tua kita itu adalah musuh kita. Beban dunia ini sepertinya diletakkan di pundak kita. Seolah-olah semua iblis yang ada di dunia bersatu padu masuk ke dalam hati kita yang mengakibatkan kita ingin sekali menginjak-injak  mereka sampai rata dengan tanah.
Dalam beberapa kejadian, ada beberapa temanku, yang akhirnya namanya berubah, menjadi nama orang tuanya. Dia dipanggil dengan nama papanya. Dan si anak, biasanya hanya bisa menerima dengan sangat pasrah. (Biasanya nama yang selalu dipermainkan adalah nama papa kita. Misalnya apabila nama papa kita adalah Bagudung, maka kita akan dipanggil dengan Bagudung, padahal nama kita adalah si Manuk).

Mengenai makna nama yang sangat berarti bagi orang Batak Toba ini, baru   benar-benar aku sadari setelah aku kuliah di Depok. Dulunya, aku kira semua suku mensakralkan nama. Ternyata, teman-teman kuliahku sangat leluasa sekali dan tanpa beban menyebut nama orang yang lebih tua dari mereka. Lidah mereka sangat lentur, berbeda dengan lidahku yang sangat kaku setiap kali menyebut nama orang yang lebih tua. Dengan adanya pensakralan nama di budayakulah pada akhirnya membuatku  sangat sulit untuk menghafal nama orang (mencari pembenaran). Secara tak langsung, aku sudah dibiasakan untuk menghafal wajah karena penyebutan nama sangat tabu.
Berapa seniorku di kampus, khususnya yang berjenis kelamin laki-laki selalu menertawakanku karena lidahku sudah terbentuk untuk memanggil yang lebih tua  dengan abang.  Budaya di kampusku, semuanya setara, tidak ada sebuatan kakak atau abang. Dan itu adalah PR yang begitu sulit untukku. Selama 18 tahun, aku telah didoktrin untuk tidak menyebut nama yang lebih tua. Mereka (seniorku) biasanya akan meresponku dengan "batak kali kau, Rani!".  Identitasku sebagai orang Batak Toba sangat sulit untuk aku tinggalkan dengan kebiasaan "gue-lo".  Benturan budaya  inilah salah satu penyebab culture shock yang terjadi padaku di tahun pertama kuliahku.

Kembali ke makna sebuah nama. Begitu besarnya arti sebuah nama bagi orang Batak Toba, bahkan guru-guruku di sekolah pun membuat peraturan tak tertulis bahwa bagi siapa yang menyebut nama orang tua temannya maka akan diberikan hukuman, misalnya telinga dijewer atau disuruh menghormat bendera di halaman sekolah. Jadi, apabila ada teman yang menyebut nama orang tua kita, segeralah melapor kepada guru terdekat. Setelah itu yang bersangkutan akan dihukum. Dan teman kita yang dihukum akan semakin menjadi-jadi menyebut nama orang tua kita (tentunya bukan di depan guru!). Jadi, bukanlah pilihan yang bijaksana untuk melaporkan si pelaku kepada guru karena akan menjadi bumerang bagi kita. Hal yang sama juga berlaku bagi nama guru-guru. Tidaklah sopan menyebut nama guru kita, kecuali permulaan nama dan marganya. Misalnya L. Nainggolan, berarti dia akan dipanggil Bapak LN. Sampai sekarang, aku tidak tahu siapa nama semua guru-guruku, kecuali marga atau borunya.

Di SMA, aku mengalami angin segar bahwa nama itu tidak harus disembunyikan. Nama itu harus dipublikasikan, tentunya dengan sepantasnya. Sebagian besar guru-guru di SMAku sudah mulai terbuka untuk memperkenalkan nama mereka kepada kami. Hal ini disebabkan, di SMA aku mendapat kesempatan untuk diajar oleh guru yang berlatar belakang bukan Batak Toba. Akan tetapi, beberapa guru masih tetap belum nyaman apabila namanya dipublikasikan, masih ada yang membuat singkatan, misalnya Bapah JH, Bapak MG, dsb.

Nama, begitu sangat berarti sekali bagi kami. Di keluargaku sendiri, nama itu tidak asal dibuat. Terdapat filosofi atau pesan khusus di dalamnya. Nama kami sendiri sudah dirancang oleh opung doli dari pihak papaku, bahwa setiap cucu laki-laki akan diawali dari huruf M, dan cucu perempuan diawali dengan huruf R. Abang tertuaku namanya Maruasas Salmen Parasian Nainggolan, abang kedua Maringan John Ferry Nainggolan, kakakku satu-satunya Rajumida Nainggolan, dan aku Rani Sartika Nainggolan. Sementara adikku yang laki-laki karena yang lahir setelah opung doliku wafat, tidak kebagian jatah. Namanya beda sendiri yaitu Eko Pahala Nainggolan, hasil persemedian papaku.

Seperti yang aku sebutkan di atas, bahwa nama bagi Batak Toba tidak dibuat asal-asalan. Ada filosofi khusus atau pesan yang tersirat di dalamnya. Aku lupa, pesan atau filosofi khusus di balik nama kedua abangku. Kalau kakakku, "Rajumi", yang adalah bahasa batak,  terjemahannya "Hayatilah, Renungkanlah". Nama ini diberikan kepada kakakku oleh opungku sebagai pesan khusus beliau kepada orang tuaku, dimana saat kakakku dalam kandungan, orang tuaku nyaris bercerai. Papaku pergi ke Jakarta meninggalkan mamaku yang sedang mengandung kakakku. Papaku baru kembali ke rumah setelah kakakku lahir. Oleh karena itu, opung doliku memberikan nama rajumi kepada kakakku agar orang tuaku merenungkan kembali bahwa mereka diberkati melalui cinta. Sebesar apapun "ombak" kehidupan menerpa cinta yang telah mereka bangun, mereka (orang tuaku) diminta dengan sangat untuk merenungkan kembali, bahwa mereka telah terberkati melalui bayi perempuan yang adalah buah cinta mereka. Singkat cerita,  kedua orang tuaku pun rukun kembali. Selanjutnya, mungkin salah satu hasil perenungan dari papaku adalah lahirnya  rasa bersalah yang sangat luar biasa (tidak melihat kakakku lahir ke dunia), sehingga kakakku tumbuh menjadi putri kesayangannya.

Nama adikku Eko adalah pemberian ayahku. Nama ini diberikan kepadanya karena saat adikku lahir, orang Batak Toba dan yang beragama Kristen sangat dicekal untuk maju oleh pemerintahan Soeharto. Oleh karena itu, agar pengalaman buruk papaku yaitu yang gagal masuk PNS akibat dicekal oleh pemerintah, tidak terulang kembali ke adikku, papaku memberikan nama Jawa kepadanya, yaitu EKO.

Lalu bagaimana dengan namaku?
Kalau para pembaca menyimak, namaku adalah satu-satunya nama di antara kami bersaudara yang tidak ada unsur Batak Tobanya. Kenapa?
Aku pernah mempertanyakan hal ini kepada papaku. Papaku menjawab, namaku diambil dari bahasa Sansakerta, Rani artinya Ratu. Menurut papaku, opung doliku memberikan nama ini kepadaku karena opungku melihat jidatku yang sangat menantang sehingga opung doliku memprediksikan bahwa aku akan menjadi seorang pemimpin yang cerdas. Padahal, berdasarkan tanggal lahir, aku adalah cucu opungku yang lahir terakhir semasa dia hidup. (Opungku meninggal setelah aku berusia setahun).

Aku bertanya kepada papaku, bagaimana mungkin opung doli bisa memprediksikan bahwa aku akan menjadi seorang pemimpin?
Papaku pun menjawab, NALURI SEORANG KAKEK!.

Dan, inilah aku. Rani Sartika Nainggolan.
Mungkin aku belum bisa membuktikan dengan sebuah jabatan atau sejenisnya kepada opung doliku bahwa apa yang telah dia prediksikan 25 tahun silam akan terjadi. Akan tetapi, sekarang aku bisa mengatakan bahwa aku adalah seorang PEMIMPIN. Aku telah berhasil memimpin diriku sendiriku untuk menjadi lebih baik. Tidak perlu jabatan, yang paling penting adalah pengaruh positif yang kuberikan dimana pun Tuhan menempatkanku.

Tulisan ini aku dedikasikan kepada opung doliku, Lewi Nainggolan. Aku tidak mengenalmu secara personal, terima kasih sudah mempercayakanku untuk menjadi seorang pemimpin!



Keterangan gambar.
dari kiri ke kanan (kuburan Lewi Nainggolan, Dame br Rumapea, dan Rotua Nainggolan)
1. Mendiang Bou Sonti Nainggolan
2. Maruasas Salmen Parasian Nainggolan
3. Rani Sartika Nainggolan
4. Maringan John Ferry Nainggolan
5. Rajumida Nainggolan
6. Namboru Marni Nainggolan
7. Namboru Sadaria Nainggolan





Saturday 25 August 2012

halak batak do ho? (2)

Aku adalah perempuan Batak Toba. Dibesarkan dengan adat Batak Toba. Jadi, tidak perlu heran kalau sedikit-banyak aku cukup familiar dengan segala sesuatu yang berbau Batak Toba. Khususnya mengenai marga-marga yang masih bersinggungan denganku ataupun dengan beberapa filosofi adat Batak Toba.Walaupun harus aku akui dengan sangat tegas proses pembelajaranku belum sempurna. Dengan kata lain, pengetahuan yang kumiliki mengenai adat Batak masih lebih sedikit dari apa yang belum aku ketahui. Oleh karena itulah, dalam berbagai kesempatan aku selalu berusaha untuk mempelajari adat Batak Toba tersebut, misalnya melakukan observasi di dalam setiap event Batak Toba, khususnya dalam pesta pernikahan atau adat dalam suasana kematian. (Sekilas info, cara cepat untuk mempelajari adat Batak Toba adalah dengan hadir dan menyimak pesta-pesta adat Batak Toba, jadi jangan malas mengikuti adat Batak Toba kalau memang ingin menambah wawasanmu tentang adat Batak Toba!)

Ada banyak prinsip kehidupan yang sangat filosofis dalam adat Batak Toba. Dimana hampir semua filosofi tersebut juga sangat sejalan dengan apa yang diajarkan dalam agama Kristen. Mungkin, hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa agama Kristen sangat berkembang di Tanah Batak Toba. Salah satu filosofi Batak Toba yang membuatku terkagum-kagum adalah adanya pembagian peran dalam adat Batak Toba. Dimana semua orang yang mengaku dirinya Batak Toba  memiliki tiga peran yang dua diantaranya adalah peran ekstrem, yaitu peran sebagai hula-hula (peran tertinggi dalam adat Batak Toba) dan sebagai boru (peran terendah dalam adat Batak Toba). Satu  lagi peran yang dimiliki oleh orang Batak Toba adalah sebagai dongan tubu (peran yang seimbang dengan orang lain). Ketiga hal ini dikenal dengan dalihan na tolu (baca http://id.wikipedia.org/wiki/Dalihan_Na_Tolu).

Dengan adanya ketiga peran ini dalam diri seorang Batak Toba idealnya sih seharusnya akan membuat manusia Batak Toba itu untuk bisa lebih memposisikan dirinya dengan lebih baik, karena akan ada saatnya dia menjadi raja, ada saatnya dia menjadi hamba, dan ada saatnya dia menjadi dongan tubu (aku tidak menemukan analogi yang tepat untuk menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia). Karena filosofi dalihan na tolu  ini bukan hanya berlaku dalam adat tapi juga dalam kehidupan sehari-hari Batak Toba, khususnya dalam hal berpikir, bertutur kata, dan berperilaku.

Menurutku filosofi dalihan na tolu adalah sebuah maha karya yang sangat luar biasa dari para leluhur Batak Toba. Yang bisa dibilang salah satu yang menjadi keunikan dari suku ini dibandingkan dengan suku lain. Tidak ada kelas sosial yang berdampak pada gap atau diskriminasi karena sekaya apapun dia, setinggi apapun jabatannya di kantor/perusahaan, seberapa banyak pun titel pendidikan yang berhasil dia kumpulkan, dalam dirinya tetap ada peran sebagai boru  yang harus menghormati hula-hulanya. Sebaliknya semiskin apapun dia, dia juga berhak mendapatkan penghormatan dari boru  nya. Akan tetapi,  seiring dengan berjalannya waktu, maha karya ini telah mulai mengalami kepudaran. Maha karya itu pada umumnya hanya diketahui oleh para raja parhata selebihnya filosifi dalaihan na tolu hanya menjadi wacana saja atau kalaupun ada yang mengerti mereka lebih membuka mata terhadap perannya sebagai hula-hula dan menutup mata untuk kedua peran yang lainnya.
Cukup berbanding lurus dengan fenomena karakteristik manusia, lebih cenderung ingin dihormati. Mereka lupa kunci utama untuk dihormati adalah tentu saja dengan membuat kita layak untuk dihormati yaitu salah satu caranya adalah dengan menghargai orang lain.

Saat ini, khususnya generasiku sangat banyak yang mulai memilih untuk meninggalkan adat Batak Toba. Atau istilah kerennya melakukan modifikasi. Proses yang panjang dan banyaknya materi yang akan dikeluarkan dalam menjalankan adat itu, menjadi  alasan untuk tidak menerapkan adat Batak Toba seperti mana seharusnya. Tak dapat diingkari, hal ini disebabkan karena kami adalah generasi yang lahir di zaman instant. Tidak mau tahu dengan proses, kalau bisa gampang untuk apa dibuat susah, itulah prinsip hidup bagi hampir semua manusia di generasiku yang sekarang. Dan ini bukan hanya terjadi di dalam adat saja, tapi di hampir semua aspek kehidupan kami.
Padahal, seadainya kami mau meluangkan waktu  untuk mengenal dan mempelajari filosifi dalihan na tolu, mungkin segala konflik yang acap kali terjadi di kalangan Batak Toba, khususnya di saat-saat akan melakukan adat Batak Toba bisa diminimalisir.

Aku tahu, adat Batak Toba itu sangat mahal. Tak jarang orang Batak Toba akan melakukan utang ke sana ke mari hanya agar bisa mengikuti adat dengan sesempurna mungkin. Karna bagi Batak Toba, hidup itu adalah adat, dan adat membutuhkan proses dan materi yang tidak sedikit. Mulai dari lahir sampai meninggal, bahkan telah menjadi bangkai sekalipun, orang Batak Toba diselimuti oleh adat. Yang namanya selimut tentu saja menghangatkan, bukan?

Yang menjadi pertanyaan, apakah adat itu masih tetap bisa menghangatkan? Atau manusia di generasiku sekarang sudah tidak membutuhkan selimut lagi karena global warming yang membuat bumi tidak lagi sedingin seratus tahun yang lalu? Kalau memang demikian adanya, kata selimut seharusnya sudah ada dimuseum kamus sekarang, alias tidak perlu dipakai lagi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk kedua pertanyaan ini, mari kita renungkan bersama-sama.

Dalam tulisan kali ini, dua hal yang ingin aku soroti mengenai pembenaran diri untuk tidak menjalankan adat Batak Toba sebagaimana seharusnya bagi sebagian orang di generasiku sekarang, yaitu PROSES dan MATERI. Kedua hal ini sudah sangat cukup menjawab mengapa adat Batak Toba tidak dapat dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya. Dimana kedua alasan ini muncul tentu saja karena ketidakpedulian kami untuk mengenal dan mempelajari adat Batak Toba sehingga kami fokus mempersepsikan bahwa adat itu sesuatu yang ribet, kami tidak tahu apa filosofi dan manfaatnya bagi kehidupan kami.

Dari berbagai fenomena yang saya observasi, adat Batak Toba akan menjadi sesuatu yang "dibenci" oleh mereka yang tidak mengenal dan memahami adat Batak Toba khususnya pada kondisi ingin memulai bahtera pernihakan bagi para generasi muda.(Untuk informasi tambahan, seseorang diakui keberadaannya dalam adat Batak Toba adalah ketika dia sudah menikah secara hukum adat, di usia berapapun!) Adat Batak Toba menjadi sesuatu yang sangat berat untuk mereka lakukan. Mereka akan mencari pembenaran diri untuk menyalahkan adat Batak Toba yang tidak lagi relevan dengan perkembangan teknologi saat ini.

PROSES dan MATERI

Sejarah telah mencatat, hanya dengan melalui proseslah sesuatu yang sangat baik itu dapat tercapai. Sebaliknya, dalam banyak hal keinstanant akan membawa manusia ke generasi MANJA!

Aku tidak mau munafik, uang memang sangat penting! Apalagi dalam budaya Batak Toba yang sangat mahal, uang tentunya mengambil peran utama, di samping manusia tentunya. Justru inilah alasan mengapa aku sangat bersyukur bisa mengenal dan belajar adat Batak Toba. Disinilah letak kekagumanku terhadap adat Batak Toba, adat yang begitu sangat mahal dan wajib dijalankan oleh mereka yang ingin menjadi Batak Toba. Bukan hanya menjadi Batak Toba di KTP saja atau Batak Toba yang berkoar-koar bangga menjadi orang Batak Toba, tapi tidak mau menjalankan adat Batak Toba sebaik mungkin.

Satu hal yang menjadi hasil pembelajaranku selama ini adalah bahwa  untuk menjadi orang Batak Toba ada harga yang harus dibayar. Sama seperti ketika kita mengatakan bahwa kita adalah pengikut Yesus, ada harga yang harus kita bayar. Dimana harga itu tentunya sangat mahal dan tidak ada pembenaran untuk kedua hal tersebut.
Perlu aku garis bawahi juga disini, bahwa adat Batak Toba itu tidak selalu membutuhkan materi yang banyak apabila tercipta dos ni roha. Bagaimana cara untuk mendapatkan dos ni roha  adalah tentunya dengan adanya proses pengenalan yang baik satu sama lain. Untuk itulah Tuhan membekali kita dengan emosi yang disebut dengan berempati dan bersimpati. Tuhan memberikan kita hati nurani yang bisa menjadi radar untuk dapat merasakan dan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain sehingga dos ni roha pun tercapai dalam pelaksanaan adat. Tuhan juga membekali kita dengan akal budi yang bisa memahami filosfi dari adat Batak, sama seperti Yesus memberikan pengajaran melalui perumpamaan.

Kembali ke masalah PROSES. Mempelajari dan mengenal adat Batak Toba telah memperkenalkanku terhadap PROSES. Bahwa untuk segala sesuatu di dunia ini ada prosesnya, bahkan Tuhan bekerja bagi kehidupan setiap manusia juga melalui proses. Sebelum kita mengatakan bersedia untuk menikah, ada proses yang harus kita jalani, ada harga yang harus kita bayar. Dan itu semua terangkup dalam dalihan na tolu. Ada proses dimana kita harus mempelajari adat Batak Toba dulu sebelum kita memasukinya dan mengambil peran dalam adat tersebut. Dengan demikian, kita tidak menggampangkan segala cara demi terlaksananya tujuan kita. Bagi orang Batak Toba, yang terpenting adalah proses bukan hasil.

Misal dalam pesta pernikahan, bagi calon mempelai yang terpenting adalah hasil, yaitu menikah. Ini adalah persepsi yang salah. Apabila kamu menyebut dirimu orang Batak Toba, yang terpenting adalah proses yang akan kita jalani ketika kita mengatakan ya untuk menikah. Karena sekali kita mengatakan ya, komitmen kita untuk mempertanggungjawabkannya juga akan menyusul. Karena itulah adat itu membutuhkan biaya mahal, sebagai bukti dari komitmen kita untuk mengemban tiga peran sekaligus selama kita hidup. Jadi, pernyataan dari pada berbuat jinah mending menikah saja, itu tidak ada dalam kosa kata Batak Toba. Pernikahan bukan semata-mata untuk melegalkan hubungan seks! Pernikahan adalah bukti komitmen kita untuk menjadi orang Batak Toba dengan tiga peran yang telah saya sebutkan di atas.

Itulah kehidupan Batak Toba yang sesungguhnya. Dan nilai ini sama dengan kehidupan beragama, sekali kita mengatajan ya pada satu agama, maka komitmen kita untuk mempertanggungjawabkannya juga akan menyusul.

Jadi, apabila kau menyebut dirimu orang Batak Toba, kenal dan pelajarilah adat Batak Toba terlebih dahulu, karena adat Batak Toba adalah selimut bagimu! Jangan pernah berkata ya untuk mengambil peran dalam adat Batak Toba (baca menikah) jikalau belum mengenal dan mempelajari adat Batak Toba. Kecuali kalau pilihanmu adalah menjadi  manusia tidak beradat.

Tuesday 3 July 2012

halak batak do ho?


Adong do sada sungkun-sungkun di rohaku taringot na martondong di hami halak batak. Godangan hubereng di hami halak batak, molo ro tubu ni anggina manang tutur na sian huta lao tinggal di jabuna, antar lao sadia leleng  sai intor marsigorgor  do elat di roha na. Dang boi dibahen ianokhon ni tutur na i gabe songon tubu na sandiri. Intor mardikan do holong i dibahen. Apalagi molo tutur na ro i sian huta manang lebih huta sian huta na ditopot na i. On ma sada na mambahen tubu di roha ni angka na naeng mangaronto, dang olo mandege jabu ni tutur na. Tumagon ditaon-taon marsikor manang didia daripada ingkon tinggal di jabu ni tutur na.

Godang hubereng na masa songon on. Molo ro tutur na sian huta, paula so disangko. Intor merasa diri sok kota ma angka jolma na tinggal di Jakarta on. Hape molo ni rimangan, dao dope lebih berkualitas angka halak na tubu jala magodang di huta daripada angka jolma na tubu jala magodang di Jakarta on. Tung so binoto do angka aha na dihaginjangkon na. Sai dilesengi ma angka jolma na ro sian huta, didok "parhuta-huta" hape sebenarna naung maila do halaki mangida diri na sandiri, ala dang adong gogona lao mangaranto. Sai lalap mangasangkon haJakarta on na. Hape di Jakarta pe halaki sona gabe manang ise, tong do songon-songon i.

Molo di luar, tarsohor ma halak batak i, sada suku na tung mansai denggan jala uli situtu do angka na martondong, tarida ma i sian gok na i angka punguan-punguan marga. Hape molo masuk iba tu bagasan tarida ma na godangan angka gilok jongkal.
Tung mansai maol do mangida halak batak na mardos roha jala mardenggan. Elat, late, hosom, teal sai tong do marurat di bagasan roha na be. Nang pe nunga tinggal di Jakarta on. Jala sude do halak batak punasa on. Au pe adong di au on. On ma sada pergumulan berat nuaeng di angka halak batak na bisuk maroha. Boa ma carana asa boi elat, late, hosom, dohot teal on dang gabe manusai jala unang be dipake be tu parale-aleon manang tu na martondong.

Angka natua-tua di Jakarta on, nunga maol na lao sitiruon. Na maolan do sonari on natua-tua lao mandok hata tu angka ianakhon na. Boasa boi songon i, ai nunga sala mandasor. Molo ro tutur na sian huta, dang dipasingot angka ianakhon na i lao mangkaholongi tutur na i. Ai boa ma ibana pasingothon ai ibana pe sona boi mangkahaholongi tutur na i. Jai, tung mansai lam susah so parngoluan on. Susah di perhepengon susah ma muse dipartondongon. Sudena si buat na di dirina be. Natuatua salah mamemehon, angka ianakhon pe dang olo marsiajar. 

Jai, tung mansai maol situtu do parngoluan di hami halak Batak. Molo adong sada halak na so halak batak lao masuk tu keluarga batak, ingkon sahalak na pir ma ibana. Ai gok elat, late, teal, hosom, na so boi longkang sian pamatang ni halak batak. Molo dang adong be na opat on di sada halak batak, boi ma disungkun, halak batak do ibana manang daong?