Sunday 23 November 2014

Merantau

Di lingkungan dimana aku dibesarkan, merantau adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kedua orang tua dari orang tuaku pun melakukan hal yang sama. Kakek nenek dari pihak ayahku berasal dari desa kecil di Pulau Samosir, namanya desa Aek Rihit. Desa ini terletak di daerah pegunungan kurang lebih empat jam dari tepi Danau Toba dengan jalan kaki. Kehidupan di desa ini sangat jauh dari sejahtera. Kelangkaan air bersih, listrik belum masuk desa, dan tanah yang tidak subur. Keadaan hidup yang sangat memprihatinkan membuat kakek dan nenekku akhirnya memutuskan untuk membawa anak-anaknya merantau ke Balige, di desa Sangkar Nihuta.
Hal yang sama juga dilakukan oleh kakek dan nenekku dari pihak ibu. Mereka berasal dari Dolok Sanggul, desa Sigual. Keadaan yang kurang lebih sama dengan yang dialami oleh keluarga ayahku juga dialami oleh keluarga ibuku. Kelangkaan akan air bersih, belum terjangkau listrik, dan tanah yang tidak subur. Mereka pun merantau ke Balige, desa Sangkar Nihuta. Di desa inilah ayah dan ibuku bertemu dan memutuskan untuk menikah. Begitu juga denganku, di desa inilah aku mengenal suamiku. Bedanya, suamiku adalah putra desa dimana kami tinggal, bukan pendatang seperti keluargaku.

Masa kanak-kanak dan remajaku, aku habiskan di desa Sangkar Nihuta, Balige. Keadaan di desa ini memang sudah lebih baik dibandingkan dengan desa asal dari ayah maupun ibuku. Disini air bersih terjangkau, listrik sudah ada, dan tanahnya lebih subur walaupun kami tidak memiliki tanah untuk diolah (karna kami adalah pendatang di desa ini).  Keuntungan lainnya dari desa ini bahwa desa ini menjadi jalur darat utama antar kota maupun antar provinsi. Rumah orang tuaku tepat berada di pinggir jalan raya besar, yang diberi nama dengan Jalan Tarutung. Hal ini membuatku sudah terbiasa melihat bis-bis antar kota dan provinsi bahkan bis antar pulau melintas dari depan rumah orang tuaku. Bis-bis antar pulau adalah bis Antar Lintas Sumatera (ALS), bis PMH (saya lupa kepanjangannya), dan berbagai truk yang mengangkut bahan makanan dari Pematang Siantar ke Pulau Jawa.

Menjadi pendatang di desa ini tentu saja menjadikan orang tuaku tidak  memiliki tanah untuk diolah dan orang tuaku tidak cukup beruntung untuk menjadi karyawan kantor, maka mereka mencoba peruntungannya melalui jalur bisnis, yaitu berjualanan. Kondisi rumah orang tuaku yang strategis sangat dimanfaatkan baik oleh mereka untuk menjual makanan. Beberapa jenis makanan yang dijual oleh orang tuaku adalah mie gomak (masakan kuliner khas Batak), ketan, berbagai jenis gorengan (pisang goreng, ketan goreng, bubur kacang ijo goreng, bakwan, godok-godok, tahu isi, ubi goreng, dsb). Sementara untuk minuman, orang tuaku menyediakan kopi, teh manis, susu, teh susu, kopi susu, dan berbagai minuman kemasan lainnya. Banyaknya jenis jualan yang diperdagangkan oleh orang tuaku membuatku nyaris tidak pernah merasakan arti sebuah rumah karena rumah orang tuaku dimana aku dibesarkan adalah juga tempat orang tuaku membuka usaha mereka. Jadi, tidak heran apabila di rumah kami tidak ada ruang privacy karena apapun yang terjadi di rumah kami semua customer bisa menyaksikannya. Kehidupan kami seperti aquarium, tidak ada yang tersembunyi. 

Mungkin, dengan kondisi orang tuaku yang adalah perantau di desa ini dan seringnya bis-bis antar kota dan antar provinsi yang singgah di rumah orang tuaku membuatku banyak tahu tentang dunia luar dari desa ini. Tak jarang mereka yang singgah di rumah orang tuaku menceritakan kisah-kisah perjalanan mereka dan kehidupan suku-suku lain selain suku Batak Toba yang menjadi suku mayoritas di desa ini. Aku tidak ingat pasti, mungkin merekalah yang memperkenalkan berbagai jenis suku dan karakteristik dari suku-suku tersebut kepadaku selain dari pelajaran di sekolah dan surat kabar yang aku baca tentunya. Inilah salah satu keuntungan yang kumiliki menjadi anak penjual makanan, wawasanku mengenai kehidupan orang-orang yang berbeda suku dan agama denganku. Aku telah mengetahui keberadaan mereka melalui cerita-cerita para customer  orang tuaku.

Aku juga tidak yakin sejak kapan keinginanku untuk merantau lahir. Yang aku ingat, ketika aku kelas lima SD, aku sudah mengutarakan ke beberapa teman-temanku bahwa suatu hari nanti aku harus merantau. Aku tidak mau tinggal di desa itu selamanya. Dan satu-satunya alasan untuk merantau yang cukup elegan adalah study. Di Balige tidak ada universitas. Universitas adanya di Medan, ibukota provinsi Sumatera Utara. Akan tetapi entah mengapa sejak aku tahu keberadaan Medan, aku tidak pernah berniat untuk merantau ke sana. Sasaranku adalah Pulau Jawa. Merantau sejauh mungkin dan kalau Tuhan berkehendak ke Eropa atau Amerika.

Dan disinilah aku sekarang, di Pulau Jawa, provinsi Jawa Barat. Provinsi yang pertama sekali kuinjak ketika aku pertama sekali merantau. Sudah hampir sembilan tahun aku merantau. Tapi aku tidak merindukan desa dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Dan aku tidak memiliki keinginan yang kuat untuk pulang selain untuk hal-hal yang penting. Tidak ada satupun yang kurindukan dan yang mendesakku untuk pulang selain dari kewajiban. Mungkin sejak awal aku memang tidak pernah menjadi bagian dari desa dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Bagiku, desa Sangkar Nihuta hanyalah bagian dari sejarah kehidupanku tanpa ikatan emosi. Sepertinya aku telah menjadi perantau yang durhaka, perantau yang lupa akan kulitnya. Entahlah. Aku bangga menjadi orang Batak dan sungguh menyenangkan menjadi seorang perantau dan memiliki kampung halaman, tapi tidak untuk ditinggali.

Tahun ini, aku telah resmi menjadi warga Jawa Barat. Aku memiliki rumah dan belajar untuk bermasyarakat. Saat ini, aku memang menjadi warga minoritas dari suku dan agama di lingkungan yang sedang dan akan kujalani kelak. Berbeda dengan dimana aku dilahirkan dan dibersarkan, disana aku menjadi warga mayoritas baik dari suku dan agama. Dulu, aku tidak perlu sehati-hati sekarang dalam bermasyarakat. Disini aku harus belajar untuk sangat bertoleransi dan belajar untuk bertahan dengan kebisaan yang berbeda dari lingkungan dimana aku dibesarkan. Cukup menguras mental untuk bisa beriringan bersama-sama dengan mereka yang berbeda kebiasaan hidup. Kebiasaan orang batak dan Kristen memiliki perbedaan yang sangat besar dengan kebiasaan orang Sunda dan Islam. Tapi, inilah tantangannya, menjadi warga yang toleransi dan tenggang rasa. Terima kasihku untuk guru-guru SD-ku yang sangat eager untuk mengajarkan nilai-nilai ini kepadaku ketika aku masih di kampung halaman. Walau aku tidak yakin, apakah kelak aku bisa mengajarkannya kembali ke anak-anakku karena kondisi yang sangat berbeda. Kalau dulu, guru-guruku mengajarkan nilai-nilai itu ketika aku adalah warga mayoritas dan bahkan ketika tidak ada perbedaan itu selama keberadaanku di dunia ini. Sementara kelak, ketika aku memiliki anak dan mengajarkan nilai itu, kami berada di lingkungan minoritas dan telah ada contoh konkritnya.

Inilah tantangannya. 



No comments:

Post a Comment