Akhir-akhir ini
ada begitu banyak pemuda/I Batak yang mulai mempertanyakan apakah menikah
secara adat Batak penuh itu masih relevan untuk dilakukan saat ini? Selain
biaya yang dibutuhkan sangat banyak, perbedaan-perbedaan pendapat yang berujung
kepada konflik dan sakit hati menjadi alasan kuat yang membuat para generasi
muda semakin tawar hati akan adat Batak. Acara pernikahan yang seharusnya
menjadi momentum penting bagi pasangan pengantin, tidak sedikit berakhir dengan
luka batin. Keluarga baru yang seyoginya dimulai dengan penuh suka cita,
berakhir dengan pernyataan, nasi sudah
jadi bubur. Para pengantin memulai kehidupan keluarga baru mereka dengan
prasangka-prasangka negatif.
Di satu sisi, kerumitan
di dalam pelaksanaan adat Batak, yang membutuhkan banyak uang dan dibumbui
dengan konflik keluarga, membuat pernikahan Batak secara adat penuh menjadi
sesuatu yang sakral. Setidaknya hal ini menjadi salah satu faktor penghambat
para pemuda/i untuk menikah dengan gegabah. Tidak bisa dibayangkan apabila
pernikahan Batak secara adat penuh dilaksanakan dengan sangat mudah,
kemungkinan besar Indonesia hanya akan terdiri dari orang Batak dan orang baik saja.
Akan tetapi hal ini, bukan menjadi alasan untuk meninggalkan adat Batak. Biar
bagaimanapun, adat itu adalah warisan yang sangat tak ternilai harganya dari
nenek moyang kita. Sekali pun kita tidak mendapatkan teladan yang baik dari
para orang tua di sekitar kita mengenai pelaksanaan adat Batak, kita sebagai
manusia yang dibekali akal sehat, seharusnya memiliki kemampuan untuk
memperbaiki kesalahan itu bersama-sama. Kita memiliki pilihan untuk memutuskan mata
rantai kesalahan yang telah disosialisasikan oleh para orang tua di sekitar
kita.
Siapa bilang
pernikahan adat Batak itu harus selalu membutuhkan biaya yang banyak? Siapa
bilang pernikahan adat Batak itu harus selalu berakhir dengan konflik keluarga?
STOP. Kita akhiri fenomena ini hanya sampai di kita. Adat Batak diwariskan oleh
nenek moyang kita dengan tujuan agar kita menjadi manusia yang berbudaya. Sudah saatnya kita menunjukkan kepada mereka
yang bukan Batak, bahwa budaya kita tidak kalah menariknya dibandingkan dengan
budaya dari negara lain. Jangan biarkan doktrin-doktrin penerapan yang salah
dari para orang tua menjadi penghalang untuk kita mencintai adat Batak.
Lalu apa yang
bisa kita lakukan? Sebelumnya mari kita berkenalan dengan adat Batak terlebih
dahulu, khususnya dalam pernikahan Batak. Satu konsep yang paling banyak
memakan korban dalam pelaksanaan pernikahan adat Batak adalah konsep sinamot.
Orang Batak
memiliki motto hidup, “Anakhonhi do hamoraon
di au” (Anak adalah kekayaan). Mengapa anak menjadi sumber kekayaan bagi
orang Batak? Karena pada zaman dahulu, anak diperdayakan untuk membantu orang
tua membajak tanah (bertani). Jadi,
semakin banyak anak, maka semakin banyak sumber tenaga yang bisa dipakai untuk
membajak sawah. Oleh karena itu, ketika seorang anak perempuan dilamar, maka
sumber tenaga akan berkurang karena setiap anak perempuan yang menikah akan
meninggalkan orang tuanya dan tinggal dengan keluarga suaminya. Dengan demikian,
orang tua perempuan pun meminta ganti si anak perempuan kepada pihak yang
melamar anak perempuannya. Pada zaman dahulu, biasanya yang diberikan sebagai
ganti adalah manusia juga, akan tetapi karena pihak pelamar tidak selalu bisa
memberikan manusia yang memiliki kualitas yang sama untuk bekerja sebagai ganti
anak perempuan yang dilamar, digantilah dengan beberapa ekor kerbau. Seiring
dengan perkembangan zaman, dimana manusia akhirnya meninggalkan sistem barter
dan beralih dengan menggunakan uang, maka penggantian anak perempuan yang
dilamar dilakukan dengan memberikan uang, yang dikenal dengan SINAMOT.
Saat ini, sinamot menjadi momok yang paling menakutkan bagi para pangoli (pemuda yang berniat untuk
menikah). Apalagi dengan mereka yang tidak memiliki orang tua yang kaya, dimana
biaya nikah menjadi tanggungan pribadi. Tak jarang banyak pernikahan gagal
hanya karena pihak perempuan tidak setuju menyerahkan anak perempuannya dengan
nilai sinamot yang sedikit atau tidak
sesuai dengan yang diharapkan oleh parboru
(orang tua calon pengantin perempuan). Atau tidak sedikit, pernikahan adat
Batak meninggalkan konflik yang berkepanjangan dikarenakan jumlah sinamot ini.
Mengenai nilai sinamot ini, kita para generasi muda bisa menyiasatinya dengan cara
kembali ke sejarah lahirnya sinamot ini.
Zaman dahulu, sinamot lahir ksebagai
ganti rugi anak perempuan yang diambil dari keluarga si perempuan untuk
selama-lamanya, yang berarti pihak yang ditinggalkan kehilangan sumber tenaga
untuk membajak sawah yang nantinya akan mengurangi kekayaan orang tua perempuan
tersebut. Saat ini, ketika akan melamar perempuan Batak, jika ingin menerapkan
konsep sinamot ini, maka sangat
penting diperhatikan bagaimana status si anak perempuan yang dilamar di tengah-tengah
keluarganya. Apakah si anak perempuan
adalah sumber pendapatan utama di dalam keluarga tersebut, sehingga si pelamar
perlu memberikan ganti rugi yang sepadan kepada keluarga si perempuan demi
keberlangsungan hidup keluarga si perempuan ke depannya.
Dengan kata lain, penerapan konsep sinamot bukan berdasarkan seberapa
banyak uang yang telah dikeluarkan oleh orang tua si perempuan untuk
membesarkan si perempuan yang dilamar. Karena adalah kewajiban setiap orang tua
untuk mencukupi kebutuhan setiap anak dan pangoli
tidak bertanggung jawab untuk mengganti setiap rupiah yang telah
dikeluarkan oleh orang tua si perempuan kepada anak perempuannya.
Kesimpulannya, apabila ada orang tua yang menetapkan nilai sinamot berdasarkan tingkat pendidikan dan profesi anak
perempuannya, itu adalah penerapan yang salah dari konsep sinamot.
Sekalipun, si perempuan yang dilamar
adalah sumber pendapatan di keluarga tersebut, bukanlah kewajiban anak untuk
membiayai orang tuanya. Orang tualah yang memiliki kewajiban untuk mencukupi
kebutuhan anak-anaknya, bukan sebaliknya. Pada zaman dahulu kala, orang tua
Batak pun demikian, mereka membiayai anak-anak mereka dengan menyuruh mereka
mengelola sawah. Dengan kata lain, mereka sama-sama bekerja, orang tua dan anak,
bersama-sama mengusahakan sawah. Jadi, bukan anak yang bekerja untuk orang
tuanya, melainkan orang tua dan anak sama-sama bekerja untuk mendapatkan
kekayaan. Apabila ada orang tua yang meminta nilai sinamot dengan mempertimbangkan hal ini, masih tidak tetap tepat
juga. Sekali lagi melenceng dari konsep sinamot
yang telah diwariskan oleh nenek moyang Batak.
Kembali ke konteks kehidupan kita saat
ini. Apakah keberadaan sinamot masih
seperti tujuan utama sinamot itu dibuat? Tentu saja tidak. Saat ini, anak
perempuan bukan lagi sumber tenaga di dalam kehidupan keluarga Batak. Bahkan,
saat ini banyak anak perempuan Batak jangankan turun ke sawah, memasak pun
tidak bisa. Apalagi dengan adanya UU Perempuan dan Anak, dimana apabila
dianalisa secara hukum, konsep sinamot ini
seolah-olah mensahkan perdagangan perempuan di
kalangan masyarakat Batak. Oleh karena itu, konsep sinamot sesungguhnya sudah tidak relevan lagi bila ingin diterapkan
di dalam kehidupan kita saat ini. Akan tetapi, karena kita ingin melestarikan
budaya Batak, maka para orang tua memodifikasi konsep sinamot ini dengan praktek-praktek yang meringankan posisi para
orang tua dan membuat para generasi muda yang melek pengetahuan mulai muak
dengan adat Batak.
Sinamot
ada dengan tujuan pencitraan, untuk mendapatkan sanjungan dari orang-orang. Demi
mendapatkan sanjungan, para orang tua mengesampingkan kondisi hati generasi
muda yang akan menjalani pernikahan tersebut. Tak heran, para generasi muda
yang telah didoktrin untuk membahagiakan orang tuanya menghalalkan segala cara
untuk mewujudkan nilai sinamot yang
sesuai dengan harapan para orang tua. Tidak sedikit pasangan yang akan menikah maupun
yang telah menikah mengalami sakit hati di tahap ini. Para generasi muda
akhirnya menyalahkan adat Batak yang sangat rumit dan berat untuk dijalankan.
Padahal, sesungguhnya yang membuat semua itu rumit adalah ego para orang tua.
Oleh karena itu, jikalau kita para generasi muda kecewa dengan penerapan adat
yang dilakukan oleh para orang tua kita, biarlah kekecewaan itu berhenti di
generasi kita. Kita putuskan konsep penerapan adat yang keliru ini. Mari kita
lestarikan adat Batak dengan tidak meninggalkannya. Tidak mudah memang menjadi
agen perubahan dan ke luar dari doktrin-doktrin orang tua kita, akan tetapi
jikalau bukan kita, siapa lagi?
Suatu hari nanti, kitalah yang
menggantikan posisi para orang tua kita. Oleh karena itu, jangan marah dengan adat
Batak, tapi mari kita perbaiki bersama kesalahan penerapan yang dilakukan oleh para
orang tua kita. Saat ini, sinamot masih
relevan untuk tetap dilakukan dimana pelaksanaanya tentu saja bukan untuk
pencitraan, apalagi harus mengorbankan hubungan silahturami hanya untuk
melakukan pencitraan ini. Kalau dulu, konsep
sinamot dibuat karena pengantin
perempuan tidak akan kembali lagi ke keluarga perempuan setelah menikah,
melainkan selamanya akan tetap tinggal bersama-sama dengan keluarga
laki-laki. Apabila si perempuan kembali
ke keluarganya tentu saja itu haruslah seizin keluarga suaminya dimana izin itu
tidaklah mudah didapatkan. Kalau ingin konsep sinamot diterapkan seperti itu, sebagai ganti rugi dari dibawanya
anak perempuan untuk selama-lamanya, apakah masing-masing pihak setuju dengan
hal itu? Tentu saja tidak, bukan? Biar bagaimana pun, menikah itu adalah
menyatukan dua keluarga, bukan memisahkan pihak perempuan dengan keluarganya.
Si perempuan bisa berkunjung ke keluarganya kapanpun dia mau. Bahkan saat ini,
banyak orang tua perempuan yang tinggal satu rumah dengan anak perempuannya
yang telah menikah.
Jadi, kalau ingin penerapan sinamot dilakukan persis sama seperti
dahulu kala, jangan hanya menerapkan enaknya saja. Akan tetapi para orang tua
juga harus bersedia dengan konsekuensi yang mengikuti. Apalagi harus
mengorbankan kehidupan pernikahan anak-anak. Sekali lagi, adat Batak tidak
serumit itu. Adat Batak sangat menyenangkan untuk dijalankan walaupun untuk
saat ini dalam penerapannya kita para generasi muda harus tarik nafas dengan
ego para orang tua kita. Akan tetapi, setidaknya dari mereka kita belajar untuk
tidak menjadi seperti mereka ketika suatu hari nanti kita menjadi orang tua.
Sekali lagi, melalui tulisan ini aku memohon kepada para generasi muda yang
saat ini sudah muak dengana adat Batak, adat Batak tidak pernah melakukan
kesalahan apapun. Manusia yang memperkenalkannya kepada kitalah yang
menerapkannya dengan tidak seharusnya. Dan tugas kita para generasi mudalah
untuk menjadikan penerapan adat Batak itu menyenangkan untuk dijalankan.
1 comment:
Menarik..belajar memahami budaya batak khususnya aspek sinamot
Post a Comment