Saturday 25 July 2015

halak batak do ho (5)



         Akhir-akhir ini ada begitu banyak pemuda/I Batak yang mulai mempertanyakan apakah menikah secara adat Batak penuh itu masih relevan untuk dilakukan saat ini? Selain biaya yang dibutuhkan sangat banyak, perbedaan-perbedaan pendapat yang berujung kepada konflik dan sakit hati menjadi alasan kuat yang membuat para generasi muda semakin tawar hati akan adat Batak. Acara pernikahan yang seharusnya menjadi momentum penting bagi pasangan pengantin, tidak sedikit berakhir dengan luka batin. Keluarga baru yang seyoginya dimulai dengan penuh suka cita, berakhir dengan pernyataan, nasi sudah jadi bubur. Para pengantin memulai kehidupan keluarga baru mereka dengan prasangka-prasangka negatif.
Di satu sisi, kerumitan di dalam pelaksanaan adat Batak, yang membutuhkan banyak uang dan dibumbui dengan konflik keluarga, membuat pernikahan Batak secara adat penuh menjadi sesuatu yang sakral. Setidaknya hal ini menjadi salah satu faktor penghambat para pemuda/i untuk menikah dengan gegabah. Tidak bisa dibayangkan apabila pernikahan Batak secara adat penuh dilaksanakan dengan sangat mudah, kemungkinan besar Indonesia hanya akan terdiri dari orang Batak dan orang baik saja. Akan tetapi hal ini, bukan menjadi alasan untuk meninggalkan adat Batak. Biar bagaimanapun, adat itu adalah warisan yang sangat tak ternilai harganya dari nenek moyang kita. Sekali pun kita tidak mendapatkan teladan yang baik dari para orang tua di sekitar kita mengenai pelaksanaan adat Batak, kita sebagai manusia yang dibekali akal sehat, seharusnya memiliki kemampuan untuk memperbaiki kesalahan itu bersama-sama. Kita memiliki pilihan untuk memutuskan mata rantai kesalahan yang telah disosialisasikan oleh para orang tua di sekitar kita.
Siapa bilang pernikahan adat Batak itu harus selalu membutuhkan biaya yang banyak? Siapa bilang pernikahan adat Batak itu harus selalu berakhir dengan konflik keluarga? STOP. Kita akhiri fenomena ini hanya sampai di kita. Adat Batak diwariskan oleh nenek moyang kita dengan tujuan agar kita menjadi manusia yang berbudaya.  Sudah saatnya kita menunjukkan kepada mereka yang bukan Batak, bahwa budaya kita tidak kalah menariknya dibandingkan dengan budaya dari negara lain. Jangan biarkan doktrin-doktrin penerapan yang salah dari para orang tua menjadi penghalang untuk kita mencintai adat Batak.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Sebelumnya mari kita berkenalan dengan adat Batak terlebih dahulu, khususnya dalam pernikahan Batak. Satu konsep yang paling banyak memakan korban dalam pelaksanaan pernikahan adat Batak adalah konsep sinamot.
Orang Batak memiliki motto hidup, “Anakhonhi do hamoraon di au” (Anak adalah kekayaan). Mengapa anak menjadi sumber kekayaan bagi orang Batak? Karena pada zaman dahulu, anak diperdayakan untuk membantu orang tua membajak tanah (bertani).  Jadi, semakin banyak anak, maka semakin banyak sumber tenaga yang bisa dipakai untuk membajak sawah. Oleh karena itu, ketika seorang anak perempuan dilamar, maka sumber tenaga akan berkurang karena setiap anak perempuan yang menikah akan meninggalkan orang tuanya dan tinggal dengan keluarga suaminya. Dengan demikian, orang tua perempuan pun meminta ganti si anak perempuan kepada pihak yang melamar anak perempuannya. Pada zaman dahulu, biasanya yang diberikan sebagai ganti adalah manusia juga, akan tetapi karena pihak pelamar tidak selalu bisa memberikan manusia yang memiliki kualitas yang sama untuk bekerja sebagai ganti anak perempuan yang dilamar, digantilah dengan beberapa ekor kerbau. Seiring dengan perkembangan zaman, dimana manusia akhirnya meninggalkan sistem barter dan beralih dengan menggunakan uang, maka penggantian anak perempuan yang dilamar dilakukan dengan memberikan uang, yang dikenal dengan SINAMOT.
Saat ini, sinamot menjadi momok yang paling menakutkan bagi para pangoli (pemuda yang berniat untuk menikah). Apalagi dengan mereka yang tidak memiliki orang tua yang kaya, dimana biaya nikah menjadi tanggungan pribadi. Tak jarang banyak pernikahan gagal hanya karena pihak perempuan tidak setuju menyerahkan anak perempuannya dengan nilai sinamot yang sedikit atau tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh parboru (orang tua calon pengantin perempuan). Atau tidak sedikit, pernikahan adat Batak meninggalkan konflik yang berkepanjangan dikarenakan jumlah sinamot ini.

Mengenai nilai sinamot ini, kita para generasi muda bisa menyiasatinya dengan cara kembali ke sejarah lahirnya sinamot ini. Zaman dahulu, sinamot lahir ksebagai ganti rugi anak perempuan yang diambil dari keluarga si perempuan untuk selama-lamanya, yang berarti pihak yang ditinggalkan kehilangan sumber tenaga untuk membajak sawah yang nantinya akan mengurangi kekayaan orang tua perempuan tersebut. Saat ini, ketika akan melamar perempuan Batak, jika ingin menerapkan konsep sinamot ini, maka sangat penting diperhatikan bagaimana status si anak perempuan yang dilamar di tengah-tengah keluarganya.  Apakah si anak perempuan adalah sumber pendapatan utama di dalam keluarga tersebut, sehingga si pelamar perlu memberikan ganti rugi yang sepadan kepada keluarga si perempuan demi keberlangsungan hidup keluarga si perempuan ke depannya.
Dengan kata lain, penerapan konsep sinamot bukan berdasarkan seberapa banyak uang yang telah dikeluarkan oleh orang tua si perempuan untuk membesarkan si perempuan yang dilamar. Karena adalah kewajiban setiap orang tua untuk mencukupi kebutuhan setiap anak dan pangoli tidak bertanggung jawab untuk mengganti setiap rupiah yang telah dikeluarkan oleh orang tua si perempuan kepada anak perempuannya. Kesimpulannya, apabila ada orang tua yang menetapkan nilai sinamot berdasarkan tingkat pendidikan dan profesi anak perempuannya, itu adalah penerapan yang salah dari konsep sinamot.
Sekalipun, si perempuan yang dilamar adalah sumber pendapatan di keluarga tersebut, bukanlah kewajiban anak untuk membiayai orang tuanya. Orang tualah yang memiliki kewajiban untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya, bukan sebaliknya. Pada zaman dahulu kala, orang tua Batak pun demikian, mereka membiayai anak-anak mereka dengan menyuruh mereka mengelola sawah. Dengan kata lain, mereka sama-sama bekerja, orang tua dan anak, bersama-sama mengusahakan sawah. Jadi, bukan anak yang bekerja untuk orang tuanya, melainkan orang tua dan anak sama-sama bekerja untuk mendapatkan kekayaan. Apabila ada orang tua yang meminta nilai sinamot dengan mempertimbangkan hal ini, masih tidak tetap tepat juga. Sekali lagi melenceng dari konsep sinamot yang telah diwariskan oleh nenek moyang Batak.
Kembali ke konteks kehidupan kita saat ini. Apakah keberadaan sinamot masih seperti tujuan utama sinamot  itu dibuat? Tentu saja tidak. Saat ini, anak perempuan bukan lagi sumber tenaga di dalam kehidupan keluarga Batak. Bahkan, saat ini banyak anak perempuan Batak jangankan turun ke sawah, memasak pun tidak bisa. Apalagi dengan adanya UU Perempuan dan Anak, dimana apabila dianalisa secara hukum, konsep sinamot ini seolah-olah mensahkan perdagangan perempuan di  kalangan masyarakat Batak. Oleh karena itu, konsep sinamot sesungguhnya sudah tidak relevan lagi bila ingin diterapkan di dalam kehidupan kita saat ini. Akan tetapi, karena kita ingin melestarikan budaya Batak, maka para orang tua memodifikasi konsep sinamot ini dengan praktek-praktek yang meringankan posisi para orang tua dan membuat para generasi muda yang melek pengetahuan mulai muak dengan adat Batak.
Sinamot ada dengan tujuan pencitraan, untuk mendapatkan sanjungan dari orang-orang. Demi mendapatkan sanjungan, para orang tua mengesampingkan kondisi hati generasi muda yang akan menjalani pernikahan tersebut. Tak heran, para generasi muda yang telah didoktrin untuk membahagiakan orang tuanya menghalalkan segala cara untuk mewujudkan nilai sinamot yang sesuai dengan harapan para orang tua. Tidak sedikit pasangan yang akan menikah maupun yang telah menikah mengalami sakit hati di tahap ini. Para generasi muda akhirnya menyalahkan adat Batak yang sangat rumit dan berat untuk dijalankan. Padahal, sesungguhnya yang membuat semua itu rumit adalah ego para orang tua. Oleh karena itu, jikalau kita para generasi muda kecewa dengan penerapan adat yang dilakukan oleh para orang tua kita, biarlah kekecewaan itu berhenti di generasi kita. Kita putuskan konsep penerapan adat yang keliru ini. Mari kita lestarikan adat Batak dengan tidak meninggalkannya. Tidak mudah memang menjadi agen perubahan dan ke luar dari doktrin-doktrin orang tua kita, akan tetapi jikalau bukan kita, siapa lagi?
Suatu hari nanti, kitalah yang menggantikan posisi para orang tua kita.  Oleh karena itu, jangan marah dengan adat Batak, tapi mari kita perbaiki bersama kesalahan penerapan yang dilakukan oleh para orang tua kita. Saat ini, sinamot masih relevan untuk tetap dilakukan dimana pelaksanaanya tentu saja bukan untuk pencitraan, apalagi harus mengorbankan hubungan silahturami hanya untuk melakukan pencitraan ini.  Kalau dulu, konsep sinamot dibuat karena pengantin perempuan tidak akan kembali lagi ke keluarga perempuan setelah menikah, melainkan selamanya akan tetap tinggal bersama-sama dengan keluarga laki-laki.  Apabila si perempuan kembali ke keluarganya tentu saja itu haruslah seizin keluarga suaminya dimana izin itu tidaklah mudah didapatkan. Kalau ingin konsep sinamot diterapkan seperti itu, sebagai ganti rugi dari dibawanya anak perempuan untuk selama-lamanya, apakah masing-masing pihak setuju dengan hal itu? Tentu saja tidak, bukan? Biar bagaimana pun, menikah itu adalah menyatukan dua keluarga, bukan memisahkan pihak perempuan dengan keluarganya. Si perempuan bisa berkunjung ke keluarganya kapanpun dia mau. Bahkan saat ini, banyak orang tua perempuan yang tinggal satu rumah dengan anak perempuannya yang telah menikah.
Jadi, kalau ingin penerapan sinamot dilakukan persis sama seperti dahulu kala, jangan hanya menerapkan enaknya saja. Akan tetapi para orang tua juga harus bersedia dengan konsekuensi yang mengikuti. Apalagi harus mengorbankan kehidupan pernikahan anak-anak. Sekali lagi, adat Batak tidak serumit itu. Adat Batak sangat menyenangkan untuk dijalankan walaupun untuk saat ini dalam penerapannya kita para generasi muda harus tarik nafas dengan ego para orang tua kita. Akan tetapi, setidaknya dari mereka kita belajar untuk tidak menjadi seperti mereka ketika suatu hari nanti kita menjadi orang tua. Sekali lagi, melalui tulisan ini aku memohon kepada para generasi muda yang saat ini sudah muak dengana adat Batak, adat Batak tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Manusia yang memperkenalkannya kepada kitalah yang menerapkannya dengan tidak seharusnya. Dan tugas kita para generasi mudalah untuk menjadikan penerapan adat Batak itu menyenangkan untuk dijalankan.

1 comment:

Unknown said...

Menarik..belajar memahami budaya batak khususnya aspek sinamot

Post a Comment