Beberapa kali
dalam berbagai kesempatan aku bertemu dengan banyak orang yang sangat senang
menikmati hal-hal yang berbau gratis. Bukan karena tidak mampu secara materi,
melainkan telah menjadi sebuah kebanggaan tersendiri apabila mampu mendapatkan
sesuatu yang gratis. Kalau ada yang gratis, mengapa harus bayar? Pola pikir
seperti ini, masih terukir indah di masyarakt kita. Aku sendiri tidak mau
menjadi manusia yang naïf, aku akui mendapatkan sesuatu yang gratis itu adalah
anugrah, akan tetapi kalau sampai memfokuskan diri untuk melulu mendapatkan
yang gratis, menurutku itu bukanlah sikap yang harus dipertahankan apalagi
disosialisasikan kepada anak-anak dan cucu-cucu kita.
Salah satu
pengalamanku yang paling fenomenal mengenai kegratisan ini adalah ketika aku
kuliah di Universitas Indonesia dimana ada begitu banyak mahasiswa yang
mengajukan surat tidak mampu untuk bisa kuliah gratis. Memalsukan dokumen
pendukung yang dibutuhkan bahkan sampai acting
berpura-pura menjadi orang tidak mampu. Setelah permohonan dikabulkan, maka
yang bersangkutan akan bangga mengatakan betapa dia telah berhasil mendapatkan
kegratisan itu.
Hal yang sama
juga aku temukan di dalam lingkunganku bekerja. Untuk setiap karyawan yang
melakukan perjalanan dinas diberikan biaya maksimal sejumlah X, dimana apabila
biaya sejumlah X ini tidak habis wajib dikembalikan kepada organisasi. Akan
tetapi kenyataannya banyak karyawan yang mempergunakan biaya perjalanan dinas
itu secara maksimal, nyaris tidak pernah ada sisa. Lagi-lagi sebuah sikap
dimana kegratisan itu sangat menyenangkan.
Budaya
menikmati kegratisan inilah yang bertumbuh sangat subur di Indonesia, di
masyarakat kita. Kita semua pasti tahu dengan program kesehatan yang saat ini
sedang berlaku di Indonesia, yang lebih dikenal dengan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). Program ini sesungguhnya merupakan program yang sangat
menakjubkan, dimana setiap orang di Indonesia khususnya mereka yang penghasilannya
di bawah UMR atau bahkan yang tidak memiliki penghasilan memiliki kesempatan
untuk memperoleh layanan kesehatan dengan harga yang terjangkau atau bahkan
gratis. Prakteknya? Mari kita lihat, BPJS ini lebih banyak dinikmati oleh
mereka yang sangat suka dengan kegratisan.
Beberapa waktu yang lalu, seorang
kerabat sangat bangga menceritakan kepada kami, bagaimana dia berhasil mendapatkan
layanan gratis ini. Padahal kerabat ini memiliki rumah sendiri dimana-mana,
kendaraan pribadi tiga, dan masih banyak lagi harta yang dimiliki. Akan tetapi
masih tetap saja mencari layanan yang
gratis.
Banyak orang yang mengeluhkan
bahwa layanan BPJS yang diberikan oleh pemerintah saat ini masih jauh dari
sempurna dan bahkan sangat mengecewakan. Pemerintah, para petugas medis, dan
staf BPJS tidak jarang mendapatkan makian dari masyarakat yang dikecewakan oleh
layanan ini. Akan tetapi, mari kita kritisi kembali sikap hati kita terhadap program
ini. Dana BPJS diambil dari APBN dan biaya APBN ini tentu saja membutuhkan
persetujuan DPR. Kita lihat sendiri bagaimana sikap kerja DPR kita. Aku tidak
perlu membahasnya di sini. Dari segi masyarakat, peserta BPJS, dipungut biaya
untuk program ini. Akan tetapi, secara logika dengan sejumlah dana yang kita
keluarkan untuk BPJS, tidak akan mencukupi untuk mendanai kesehatan untuk
seluruh masyarakat yang ingin gratis. Yang terjadi adalah antrian layanan BPJS
yang sangat panjang.
Aku berasal dari keluarga yang tidak kaya. Bapakku seorang tukang becak dan ibuku
pedagang kaki lima. Aku kuliah dengan gratis di Universitas Indonesia, tetapi
untuk kebutuhanku sehari-hari aku tetap harus bekerja. Sesungguhnya aku bisa
saja memanfaatkan kondisi kemiskinan ini, akan tetapi aku malu mendapatkan
sesuatu yang gratis. Sejujurnya, aku juga malu kuliah gratis di Universitas
Indonesia, akan tetapi aku tidak ada pilihan lain, karena aku ingin kuliah.
Ketika di kehamilan pertamaku, seharusnya aku bisa menikmati layanan BPJS dari
program pemerintah ini, karena suamiku adalah Pegawai Negeri Sipil, dimana
secara otomotis aku berhak mendapatkan
layanan BPJS ini. Di smaping itu, aku juga wanita bekerja dimana sebagian dari gajiku sudah dipotong untuk biaya BPJS. Akan tetapi, kami memilih untuk menggunakan gaji kami sendiri
untuk biaya konsultasi dan bahkan untuk biaya operasi melahirkanku. Bukan karna
kami sekarang sudah kaya dan tidak membutuhkan program BPJS lagi, melainkan
kalau memang kami masih bisa membayar, mengapa harus memilih yang gratis?
Aku dan suami berjanji bahwa kami
hanya akan menggunakan BPJS, apabila kami benar-benar sudah tidak mampu lagi di
dalam membayar biaya kesehatan kami. Karena BPJS itu memang ditujukan bagi yang
tidak mampu. Kalau kita masih mampu memiliki rumah sendiri lebih dari satu,
memiliki kendaraan pribadi lebih dari satu, memiliki penghasilan berlipat-lipat
kali ganda dari nilai UMR, bukankah kita seharusnya malu bila masih tetap antri untuk
menggunakan BPJS? Kalau kita bisa beli gadget yang harganya jutaan rupiah, bisa
makan di mall hampir tiap hari, berlibur ke luar negeri, masakan untuk beli
obat dan periksa ke dokter yang harganya tidak lebih dari 500 ribu harus
menggunakan BPJS?
Sementara saudara-saudara kita
yang makan saja susah, ketika mereka berobat menggunakan BPJS akhirnya tidak
bisa dilayani dengan cepat dikarenakan kita telah “mencuri” haknya. Memang
benar, adalah kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia, akan tetapi kita yang memiliki moral sudah seharusnya membantu
program pemerintah ini dengan cara mengutamakan yang lebih berhak untuk
mendapatkannya. Percayalah, kita tidak akan miskin hanya dengan memberi
kesempatan itu kepada yang lebih membutuhkan dibandingkan dengan kita. Di
samping itu, para tenaga medis pun tidak akan selalu kewalahan dengan
panjangnya antrian yang membuat mereka akhirnya bisa memberikan pelayanan
secara maksimal. Tenaga medis pun manusia, mereka pun akan kelelahan apabila
setiap hari dikerumuni oleh masyarakat yang selalu ingin gratis.
Seharusnya kita bangga menikmati kegratisan karena kita berprestasi, bukan karena kita miskin materi. Dan, yang terutama, bijaksanalah menggunakan hak kita.
No comments:
Post a Comment