Thursday 4 December 2014

budaya kolektif versus budaya individual

Namaku Jordan, aku lahir dan dibesarkan di sebuah desa kecil di negara Indonesia. Orang tuaku bukan orang yang memiliki pendidikan dan mereka hidup dengan adat Batak menjadi standarnya. Karena orang tuaku orang Batak, maka aku pun adalah orang Batak. Orang Batak merupakan salah satu suku di Indonesia yang menggunakan sistem patrilineal di dalam sistem budayanya. Dan karena aku lahir dan dibesarkan di desa  di mana mayoritas yang tinggal di desa itu adalah orang Batak, maka aku pun memiliki pengetahuan yang cukup banyak mengenai kebiasaan orang Batak,  aku fasih menggunakan bahasa Batak. Walaupun keahlihan ini tidak berarti banyak dan sama sekali tidak dibutuhkan di dalam perkembangan dunia bisnis di zaman sekarang ini. Jadi, tidak mengherankan apabila banyak orang Batak yang tidak tahu bahasa Batak. Alasannya satu, memahami bahasa Batak tidak memberikan keuntungan secara mater i!!

Aku sangat mencintai adat Batak khususnya filsafat hidup orang Batak yang mengutamakan hubungan antar manusia. Keutuhan hubungan antar manusia menjadi inti dari filsafat hidup orang Batak, walaupun di zaman sekarang hal ini sudah mengalami pergeseran makna, dimana hubungan antar manusia yang diharapkan hanya akan utuh apabila adanya uang di dalamnya. Pamrih menjadi tiket untuk keutuhan hubungan ini. Akhirnya menjadi makhluk individual seperti yang disosialisasikan budaya barat ke Indonesia menjadi sangat berkembang di Indonesia. Hubungan yang pamrih sudah menjadi hal yang sangat menggangu untuk keutuhan sebuah hirarki jiwa. Orang-orang di sekitarku mulai meninggalkan budaya kolektif dan beralih ke budaya individual. Hubungan antar manusia sudah tidak menjadi standar kehidupan lagi. Uanglah yang menjadi standar hidup saat ini. Padahal, sejarah mengatakan bahwa hubungan antar manusialah yang menjadikan sistem kehidupan ini dapat bertahan dari masa ke masa, bahkan sebelum uang lahir. Tidak disangka, kekuatan uang begitu dasyat. Dia mampu memporak-porandakan standar kehidupan yang sudah ada sejak zaman manusia purba. Kecintaanku dengan adat Bataklah yang membuatku masih berjuang untuk tidak terbawa arus individual yang saat ini begitu kuat menyelimuti peradaban manusia di sekitarku.

Aku bukanlah anti budaya individual. Seandainya aku lebih dulu mengenal budaya individual, aku pasti juga akan mencintai budaya individual ini. Di zaman sekarang ini dimana uang menjadi standar kehidupan, adalah hal yang sangat sulit untuk tetap menjaga keutuhan hubungan. Apalagi dengan segala kerepotan budaya kolektif yang membuatku terkadang menyesali diri mengapa terlalu mencintai budaya Batak? Inilah konsekuensi yang aku terima dari rasa cintaku kepada budaya Batak, dimana dalam banyak moment aku menjadi korban atau dimanfaatkan oleh mereka yang tidak mengutamakan hubungan antar manusia (budaya individual).

Lebih jauh lagi, aku merasa bahwa banyak orang yang menjadi pengikut budaya individual tanpa mereka sadari. Hal ini merupakan dampak dari ketidaan fondasi karakter. Orang tua atau orang dewasa yang ada di sekitar mereka di awal kehidupan mereka gagal untuk membangun fondasi karakter kepada mereka. Dengan demikian, seiring dengan perjalanan kehidupan mereka, mereka menjadi gampang terbawa arus dan akhirnya kehilangan identitas. Ada lagi sekelompok orang yang beruntung, setelah mereka kehilangan identitas mereka menciptkan identitas baru dan mengajak orang lain untuk menjadi pengikutnya. 

Perkembangan fenomena sosial ini membuatku terkadang ingin menarik diri dari sekitarku. Aku merasa tidak kuat lagi untuk melawan arus yang tidak sesuai dengan karakterku. Bahkan mencoba untuk beradaptasi dengan kebudayaan individual ini semakin membuatku menjadi orang lain.
Aku tidak merasa sesuai dengan sistem kehidupan yang ada di sekitarku. Di budaya yang aku kenal bahwa hubungan antar manusia adalah standar untuk bisa bertahan hidup. Sementara di kehidupan yang sama dengan peran yang sama, uang menjadi standarnya. Kekalahanku adalah aku tidak bisa menyeimbangkan kedua standar ini atau mengambil kedua standar ini untuk menjadi alatku bertahan hidup.
Aku masih penasaran dengan mereka yang bisa menjalani kehidupan seperti ini. Bagaimana cara mereka menyatukan kedua standar ini tanpa merusak karakter mereka. Dan jujur aku belum pernah menemukan orang yang bisa menyeimbangkan kehidupannya dengan dua standar ini. Tapi, entah mengapa, sisi manusiaku yang tamak membuatku tergoda untuk merangkum kedua standar ini untuk kujadikan alatku bertahan hidup.

Hmm, tidak pernah kubayangkan bahwa hidup ini akan begitu rumit dan penuh dengan ketidakpastiaan. 


Tuesday 2 December 2014

Tips untuk sehat selama hamil

Pengalaman menjadi hamil adalah pengalaman yang penuh sejarah bagi setiap perempuan. Tidak banyak kata yang bisa mendeskripsikan bagaimana kondisi perempuan di dalam menjalani masa-masa kehamilan. Setiap perempuan yang pernah dan sedang merasakannya pasti memliki kesan tersendiri dengan pengalaman ini. Saya juga mengalaminya walaupun saya tidak menyelesaikan kehamilan saya seperti yang telah diprediksi oleh dokter. Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman saya menjadi perempuan hamil selama 28 minggu. Harapan saya tulisan ini dapat menjadi refrensi dan semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk mengurangi resiko bayi meninggal seperti yang saya alami.

  1. Ingatlah jadwal menstruari Anda. Hal ini akan sangat membantu untuk mengetahui apakah Anda hamil atau tidak dan membantu Anda di dalam penghitungan usia kandungan Anda. Walaupun sebenarnya hal ini bisa dideteksi melalui USG, akan tetapi Anda juga perlu mengetahuinya untuk menjawab dokter ketika Anda pertama kali periksa kehamilan. Pertanyaan dokter yang pertama pastinya adalah kapan Anda terakhir mengalami menstruasi, apakah jadwalnya teratur sekali dalam 28 hari, dan berapa lama durasi menstruasi dalam satu periode?
  2. Sebelum ke dokter kandungan untuk memastikan Anda hamil atau tidak, sebaiknya lakukan test kehamilan terlebih dahulu. Sebaiknya test kehamilan dilakukan tiga kali dengan jarak empat hari untuk mendapatkan akurasinya, apabila ada keraguan di hati Anda. Hal ini untuk menghindari apabila Anda bertemu dengan dokter kandungan yang tidak berempati. Dengan adanya hasil test kehamilan, biasanya dokter kandungan akan mengurangi interogasi yang berlebihan kepada Anda dan pasangan.
  3. Mencari dokter kandungan yang berempati dan nyaman untuk mendengarkan keluhan Anda. Ini bisa Anda lakukan melalui teman-teman atau kenalan Anda yang pernah menggunakan jasa dokter kandungan. Yang perlu saya tekankan disini, Anda tidak membutuhkan dokter kandungan yang pintar tapi dokter kandungan yang bersedia hadir saat Anda membutuhkannya ketika Anda mengalami masalah dengan kehamilan Anda, bukan hanya di saat Anda akan melahirkan.
  4. Apabila Anda memiliki budget yang cukup dan Anda ingin melakukan dokumentasi mengenai perjalanan anak Anda, mintalah print out USG dari anak Anda. 
  5. Jangan percaya 100 % kepada dokter kandungan. Ingatlah kitalah yang lebih tahu mengenai kondisi kita selama hamil. Dokter hanya melakukan pemeriksaan melalui data yang terlihat dan dengan dimonitori oleh berbagai motivasi. Anda dan pasangan harus kritis terhadap setiap opini yang diberikan oleh dokter. Pengalaman saya selama hamil, dokter saya mengatakan bahwa saya diizinkan untuk berolahraga, tidak masalah apabila saya menggunakan motor selama 4 jam sehari, saya harus aktif, kehamilan bukanlah hambatan untuk melakukan kegiatan saya seahri-hari. Dia memperkuat pernyataannya dengan alasan belum ada penelitian yang melarang ibu hamil untuk melakukan hal di atas. Akan tetapi sesungguhnya, ini bukan ada tidaknya penelitian, Tapi bagaimana tubuh Anda merespon untuk setiap kegiatan yang Anda lakukan.
  6. Ini pendapat personal, akan tetapi untuk di kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, sebaiknya memilih dokter kandungan laki-laki. Semula saya tidak ingin merendahkan kaum saya dalam hal ini, akan tetapi saya mengalaminya. Dokter kandungan laki-laki jauh lebih memiliki empati, lebih detail, dan mengerti keadaan ibu hamil dibandingkan dokter kandungan perempuan.
  7. Masa hamil adalah masa dimana waktunya Anda dimanja oleh orang-orang di sekitar Anda. Oleh karena itu, nikmatilah karna Anda berhak untuk mendapatkannya. Jangan memaksakan diri Anda untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin Anda lakukan, termasuk untuk melanggar mitos seputar ibu hamil. Sepanjang Anda ingin melakukannya dan tidak merugikan Anda dan kandungan Anda, lakukanlah. Masa hamil adalah masa dimana Anda menjadi prioritas karena itu bersuka citalah.
  8. Jangan atau kurangi makan di luar. Jauh lebih baik apabila Anda memenuhi nutrisi Anda dan kandungan Anda dengan makanan yang Anda persiapkan di rumah.
  9. Apabila Anda tidak ingin mengalami berat badan yang berlebihan selama hamil, maka perhatian makanan Anda secara mendetail. Kurangi memakan karbohidrat, perbanyak makan sayuran dan buah. Untuk mempermudah Anda dalam memakan buah dan sayuran, Anda bisa mengolahnya seperti minuman.
  10. Berdoalah selalu agar Anda dikuatkan selama menjali masa kehamilan Anda.

Tuesday 25 November 2014

halak batak do ho? (4)

Setelah menikah, pasangan batak diwajibkan untuk mengikuti kegiatan adat, bukan hanya mengikuti tetapi juga mempelajari setiap prosesi adat. Sangat melelahkan dan menyita waktu, pikiran, materi, dan tentu saja mental. Karna bukan adat batak namanya kalau tidak dibumbui dengan konflik. Semegah apapun kegiatan adatnya atau selancar apapun kegiatan itu terlihat pasti akan selalu ada konflik di dalamnya. Tidak jarang, bagi kami para pasangan muda batak akhirnya banyak yang memilih untuk tidak terlibat terlalu jauh atau bahkan bersikap apatis dengan keberlanjutan budaya batak. Jauh lebih menyenangkan untuk mempelajari budaya bangsa lain dibandingkan melanjutkan budaya atau tradisi suku sendiri. Rumput tetangga selalu lebih hijau, bukan?

Aku dan suamiku adalah termasuk pasangan batak muda yang menarik diri dari kegiatan adat batak. Bukan karena kami tidak menyukai adat batak melainkan banyak dari kegiatan batak itu telah melenceng dari tujuan utama adat itu berlangsung. Apalagi dengan pola pikirku yang idealis, membuatku merasa tidak sudi untuk membagi waktu, tenaga, pikiran, dan bahkan materiku untuk mengikuti kegiatan adat batak. Aku bersedia melakukan sesuatu apabila itu memang cukup berharga untuk dilakukan. Aku bukan tipikal orang yang mau melakukan sesuatu yang sia-sia, dan mengikuti kegiatan adat batak menurutku salah satunya. Dan, puji Tuhan suamiku pun sependapat denganku. Bagi kami keluarga muda, menjalani kehidupan keluarga dengan saling beradaptasi satu sama lain adalah yang terutama. Kami fokus dengan kebahagiaan kami dulu untuk saat ini. Sekali lagi, kami bukannya anti dengan setiap kegiatan adat batak, hanya saja kami memiliki prioritas yang harus diutamakan terlebih dahulu. Dan aktif di kegiatan adat bukan menjadi prioritas kami saat ini. 

Adalah hal yang mustahil untuk mengembalikan kembali tujuan utama pelaksanaan adat batak. Aku bahkan memprediksi 50 tahun lagi, kegiatan adat batak akan punah, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya.  Aku telah melakukan observasi di setiap adat batak dilaksanakan. Para orang tua kami telah gagal melakukan regenerasi kepada kami mengenai prosesi adat. Dalam setiap kesempatan, aku nyaris tidak menemukan pasangan muda seperti kami yang bersedia untuk terlibat aktif di dalam adat. Sampai saat ini, kegiatan adat hanya fokus bagi para orang tua saja, sementara kami anak-anaknya sibuk berfoto-foto dan meng-upload-nya ke dunia maya. Kami tidak memperhatikan setiap prosesi dan peran yang harus dilakukan. Kegiatan itu sangat membosankan bagi kami. Jangankan untuk mengerti prosesi adat berlangsung, menggunakan bahasa batak dengan baik dan benar pun kami sudah tidak mampu.

Sejujurnya, aku sangat tertarik untuk tahu mengenai prosesi setiap adat batak. Hanya saja, karena aku perempuan, hampir di setiap prosesi adat aku diwajibkan untuk selalu berada di balik layar, mempersiapkan minuman dan makanan bagi para lelaki. Ya, itulah tugas perempuan batak, di belakang untuk melayani setiap kebutuhan laki-laki. Hanya lelakilah yang bisa tampil di dalam adat.
Inilah alasan pertam yang paling tidak kusetujui dalam pelaksanaan adat batak. Betapa kami para perempuan dijadikan sebagai pelayan saja. Apalagi kalau yang mengadakan pesta adalah pihak laki-laki dari marga si perempuan, dimana dalam adat batak disebut "boru", maka jangan harapkan bisa duduk manis selama pesta berlangsung. Para boru-lah yang repot ke sana-ke mari untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sementara mereka yang disebut dengan hula-hula duduk manis memberikan perintah. Jadi, bisa disimpulkan setiap kali kegiatan adat batak berlangsung yang paling lelah adalah perempuan. Apalagi perempuan yang melakukan pelayanan kepada pihak laki-laki itu menggunakan pakaian yang sungguh tidak menyenangkan, yaitu kebaya dan suji dan tentu saja dengan rambut disanggul. Pekerjaan untuk melayani para laki-laki selama kegiatan berlangsung menjadi semakin menyiksa karena pakaian yang tidak mendukung untuk menjadi pelayan.
Aku juga tidak tahu pasti sejak kapan dan mengapa kebaya menjadi sesuatu yang sangat penting bagi perempuan batak. Setiap kali kegiatan adat diadakan, maka akan disanalah parade kebaya, berlian, tas KW berlangsung. Sepertinya perempuan-perempuan batak menjadi langganan tetap Pasar Baru - Jakarta.

Yang kedua adalah biaya yang sangat mahal untuk sesuatu yang disebut ego. Sebenarnya, biaya untuk pelaksanaan adat batak itu bisa berlangsung dengan biaya yang tidak terlalu banyak dan sederhana. Akan tetapi, adanya titah dimana para hula-hula wajib untuk mendapatkan yang terbaik untuk mendapatkan berkat. Padahal, berkat kan bukan dari hula-hula, berkat itu datangnya dari Tuhan dan telah diberikan kepada setiap mereka yang percaya kepadaNya. Karna kita percaya kepada Yesus maka kita akan mendapatkan berkat. Bukan karena kita "menyuap" hula-hula maka kita akan mendapatkan berkat. Itu adalah pemikiran orang batak dahulu kala, sebelum mereka mengenal Yesus, dimana hula-hula-lah yang memberikan berkat kepada mereka boru. Sekarang orang batak sudah mengenal Tuhan dimana Tuhan datang ke dunia untuk menunjukkan bagaimana caranya untuk mengasihi setiap manusia, bukan hanya hula-hula saja, tapi semua yang hidup.  
Selain untuk menyenangkan hati hula-hula, biaya yang banyak untuk pelaksanaan adat batak juga untuk  mendapatkan pengakuan dari orang di sekitar. Mendapatkan pujian bahwa pestanya berjalan dengan mewah adalah kebanggan tersendiri dan meningkatkan harga diri orang batak. Apalagi kalau bisa memberikan olop-olop yang banyak kepada hula-hula. 
Aku tidak setuju dengan hal ini karena mostly  semua ini dilakukan hanya untuk show off. Dan ini menjadi tamparan yang sangat memalukan bagi mereka yang tidak memiliki cukup uang. Menjadikan mereka minder dan tidak percaya diri yang akhirnya menimbulkan gap yang berujung kepada konflik.

Yang ketiga, orang batak percaya bahwa dalam adat batak berlaku hukum memberi dan menerima. Apa yang kau berikan itupula yang akan kau dapatkan. Rajin mengikuti adat, maka orang-orang pun akan banyak yang datang ke acara adat kita. Tak jarang, orang-orang yang tidak aktif di adat akan dikucilkan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang nantinya akan terjadi kepada kami (aku dan suami) kalau kami tetap mempertahakan posisi kami untuk menarik diri dari adat. Aku tidak menyukai sistem ini. Bagiku, keikutsertaan kita ke dalam suatu adat batak, misalnya ke acara pemakaman, aku datang ke sana untuk memberikan dukungan psikologis kepada yang berduka bukan supaya nanti ketika aku berduka, dia pun akan datang kepadaku. Ironisnya, ketika aku tidak datang kepada mereka di saat mereka mengalami musibah, katakanlah karena aku ada kegiatan lain, aku wajib memberikan sesuatu sebagai gantinya, bila tidak maka aku akan dikucilkan, bahkan ketika aku lupa. Aku lebih baik memilih mereka tidak datang kepadaku kalau memang hanya mengharapkan agar nanti aku juga akan melakukan hal yang sama kepada mereka. Bisa disimpulkan adat batak adalah mengenai utang-piutang. 
Padahal bukankah di dalam Yesus dikatakan bahwa kasih itu harus tulus dan ikhlas, bukan pamrih?

Yang keempat, pelaksaanaan adat yang memakan durasi waktu yang panjang. Misalnya pernikahan, dimulai sejak pagi hari sampai malam hari. Memangnya kehidupan kita hanya untuk adat? Banyak pekerjaan rumah menjadi terbengkalai bukan hanya itu kebersamaan antara orang tua dan anak-anak pun menjadi terbatas hanya karena orang tua sibuk di adat sementara anak-anak dibiarkan melalui harinya dengan aktivitasnya. Inilah kehidupan orang batak, senin sampai dengan jumat kedua orang tua bekerja di kantor, berangkat pagi pulang malam. Hari sabtu mengikuti kegiatan adat dimana ini akan berlangsung sepanjang sabtu, besoknya ke gereja dan kebanyakan menghabiskan seharian juga karena akan banyak kegiatan di gereja, mulai dari rapat majelis, latihan paduan suara atau bahkan mengikuti arisan. Lalu kapan ada waktu untuk keluarga? Jangankan untuk keluarga, untuk diri sendiri pun nyaris tidak ada. Beginikah hidup yang diharapkan untuk menjadi pasangan keluarga batak? Aku dan suamiku sepakat untuk tidak menjalani kehidupan yang demikian. Kami berjanji di hadapan Tuhan untuk hidup menjadi pasangan yang saling berbagi bukan untuk aktif di kegiatan adat batak.

Sampai saat ini aku masih terus berpikir dan berpikir, bagaimana caranya untuk menerapkan adat batak tanpa harus mengorbankan seluruh kehidupanku untuk adat? Aku dan suami mencitai adat batak tapi kami berdua dengan tegas menolak untuk menjadi budak adat batak. Selain menjadi orang batak kami, kami juga bagian dari kelompok masyarakat lainnya. Kami memiliki komunitas di luar adat batak yang menuntut perhatian kami juga. Di atas semua itu, kami berkewajiban untuk menikmati kehidupan keluarga kami dengan berkualitas. Itulah tujuan utama kami menikah, untuk saling berbagi satu sama lain. Dan menjadi pasangan batak adalah bonus bagi kami, seperti layaknya bonus, kami memilih untuk menunda menggunakan bonus itu sekarang. 
Mungkin ini adalah pernyataan sombong dari kami jika kami mengatakan bahwa untuk saat ini, menjauh dan membatasi diri dari perkumpulan batak adalah yang terbaik bagi kami. Sejauh ini, sepertinya kami lebih nyaman untuk fokus dengan kehidupan keluarga, antara suami dan istri, dengan para ipar, dan mereka yang memiliki hubungan darah dengan kami.




Sunday 23 November 2014

Merantau

Di lingkungan dimana aku dibesarkan, merantau adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kedua orang tua dari orang tuaku pun melakukan hal yang sama. Kakek nenek dari pihak ayahku berasal dari desa kecil di Pulau Samosir, namanya desa Aek Rihit. Desa ini terletak di daerah pegunungan kurang lebih empat jam dari tepi Danau Toba dengan jalan kaki. Kehidupan di desa ini sangat jauh dari sejahtera. Kelangkaan air bersih, listrik belum masuk desa, dan tanah yang tidak subur. Keadaan hidup yang sangat memprihatinkan membuat kakek dan nenekku akhirnya memutuskan untuk membawa anak-anaknya merantau ke Balige, di desa Sangkar Nihuta.
Hal yang sama juga dilakukan oleh kakek dan nenekku dari pihak ibu. Mereka berasal dari Dolok Sanggul, desa Sigual. Keadaan yang kurang lebih sama dengan yang dialami oleh keluarga ayahku juga dialami oleh keluarga ibuku. Kelangkaan akan air bersih, belum terjangkau listrik, dan tanah yang tidak subur. Mereka pun merantau ke Balige, desa Sangkar Nihuta. Di desa inilah ayah dan ibuku bertemu dan memutuskan untuk menikah. Begitu juga denganku, di desa inilah aku mengenal suamiku. Bedanya, suamiku adalah putra desa dimana kami tinggal, bukan pendatang seperti keluargaku.

Masa kanak-kanak dan remajaku, aku habiskan di desa Sangkar Nihuta, Balige. Keadaan di desa ini memang sudah lebih baik dibandingkan dengan desa asal dari ayah maupun ibuku. Disini air bersih terjangkau, listrik sudah ada, dan tanahnya lebih subur walaupun kami tidak memiliki tanah untuk diolah (karna kami adalah pendatang di desa ini).  Keuntungan lainnya dari desa ini bahwa desa ini menjadi jalur darat utama antar kota maupun antar provinsi. Rumah orang tuaku tepat berada di pinggir jalan raya besar, yang diberi nama dengan Jalan Tarutung. Hal ini membuatku sudah terbiasa melihat bis-bis antar kota dan provinsi bahkan bis antar pulau melintas dari depan rumah orang tuaku. Bis-bis antar pulau adalah bis Antar Lintas Sumatera (ALS), bis PMH (saya lupa kepanjangannya), dan berbagai truk yang mengangkut bahan makanan dari Pematang Siantar ke Pulau Jawa.

Menjadi pendatang di desa ini tentu saja menjadikan orang tuaku tidak  memiliki tanah untuk diolah dan orang tuaku tidak cukup beruntung untuk menjadi karyawan kantor, maka mereka mencoba peruntungannya melalui jalur bisnis, yaitu berjualanan. Kondisi rumah orang tuaku yang strategis sangat dimanfaatkan baik oleh mereka untuk menjual makanan. Beberapa jenis makanan yang dijual oleh orang tuaku adalah mie gomak (masakan kuliner khas Batak), ketan, berbagai jenis gorengan (pisang goreng, ketan goreng, bubur kacang ijo goreng, bakwan, godok-godok, tahu isi, ubi goreng, dsb). Sementara untuk minuman, orang tuaku menyediakan kopi, teh manis, susu, teh susu, kopi susu, dan berbagai minuman kemasan lainnya. Banyaknya jenis jualan yang diperdagangkan oleh orang tuaku membuatku nyaris tidak pernah merasakan arti sebuah rumah karena rumah orang tuaku dimana aku dibesarkan adalah juga tempat orang tuaku membuka usaha mereka. Jadi, tidak heran apabila di rumah kami tidak ada ruang privacy karena apapun yang terjadi di rumah kami semua customer bisa menyaksikannya. Kehidupan kami seperti aquarium, tidak ada yang tersembunyi. 

Mungkin, dengan kondisi orang tuaku yang adalah perantau di desa ini dan seringnya bis-bis antar kota dan antar provinsi yang singgah di rumah orang tuaku membuatku banyak tahu tentang dunia luar dari desa ini. Tak jarang mereka yang singgah di rumah orang tuaku menceritakan kisah-kisah perjalanan mereka dan kehidupan suku-suku lain selain suku Batak Toba yang menjadi suku mayoritas di desa ini. Aku tidak ingat pasti, mungkin merekalah yang memperkenalkan berbagai jenis suku dan karakteristik dari suku-suku tersebut kepadaku selain dari pelajaran di sekolah dan surat kabar yang aku baca tentunya. Inilah salah satu keuntungan yang kumiliki menjadi anak penjual makanan, wawasanku mengenai kehidupan orang-orang yang berbeda suku dan agama denganku. Aku telah mengetahui keberadaan mereka melalui cerita-cerita para customer  orang tuaku.

Aku juga tidak yakin sejak kapan keinginanku untuk merantau lahir. Yang aku ingat, ketika aku kelas lima SD, aku sudah mengutarakan ke beberapa teman-temanku bahwa suatu hari nanti aku harus merantau. Aku tidak mau tinggal di desa itu selamanya. Dan satu-satunya alasan untuk merantau yang cukup elegan adalah study. Di Balige tidak ada universitas. Universitas adanya di Medan, ibukota provinsi Sumatera Utara. Akan tetapi entah mengapa sejak aku tahu keberadaan Medan, aku tidak pernah berniat untuk merantau ke sana. Sasaranku adalah Pulau Jawa. Merantau sejauh mungkin dan kalau Tuhan berkehendak ke Eropa atau Amerika.

Dan disinilah aku sekarang, di Pulau Jawa, provinsi Jawa Barat. Provinsi yang pertama sekali kuinjak ketika aku pertama sekali merantau. Sudah hampir sembilan tahun aku merantau. Tapi aku tidak merindukan desa dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Dan aku tidak memiliki keinginan yang kuat untuk pulang selain untuk hal-hal yang penting. Tidak ada satupun yang kurindukan dan yang mendesakku untuk pulang selain dari kewajiban. Mungkin sejak awal aku memang tidak pernah menjadi bagian dari desa dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Bagiku, desa Sangkar Nihuta hanyalah bagian dari sejarah kehidupanku tanpa ikatan emosi. Sepertinya aku telah menjadi perantau yang durhaka, perantau yang lupa akan kulitnya. Entahlah. Aku bangga menjadi orang Batak dan sungguh menyenangkan menjadi seorang perantau dan memiliki kampung halaman, tapi tidak untuk ditinggali.

Tahun ini, aku telah resmi menjadi warga Jawa Barat. Aku memiliki rumah dan belajar untuk bermasyarakat. Saat ini, aku memang menjadi warga minoritas dari suku dan agama di lingkungan yang sedang dan akan kujalani kelak. Berbeda dengan dimana aku dilahirkan dan dibersarkan, disana aku menjadi warga mayoritas baik dari suku dan agama. Dulu, aku tidak perlu sehati-hati sekarang dalam bermasyarakat. Disini aku harus belajar untuk sangat bertoleransi dan belajar untuk bertahan dengan kebisaan yang berbeda dari lingkungan dimana aku dibesarkan. Cukup menguras mental untuk bisa beriringan bersama-sama dengan mereka yang berbeda kebiasaan hidup. Kebiasaan orang batak dan Kristen memiliki perbedaan yang sangat besar dengan kebiasaan orang Sunda dan Islam. Tapi, inilah tantangannya, menjadi warga yang toleransi dan tenggang rasa. Terima kasihku untuk guru-guru SD-ku yang sangat eager untuk mengajarkan nilai-nilai ini kepadaku ketika aku masih di kampung halaman. Walau aku tidak yakin, apakah kelak aku bisa mengajarkannya kembali ke anak-anakku karena kondisi yang sangat berbeda. Kalau dulu, guru-guruku mengajarkan nilai-nilai itu ketika aku adalah warga mayoritas dan bahkan ketika tidak ada perbedaan itu selama keberadaanku di dunia ini. Sementara kelak, ketika aku memiliki anak dan mengajarkan nilai itu, kami berada di lingkungan minoritas dan telah ada contoh konkritnya.

Inilah tantangannya.