Akhir tahun sering menjadi momen yang sunyi. Kita berhenti sejenak, melihat ke belakang, dan bertanya pada diri sendiri: apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku sepanjang tahun ini? Tidak semua jawaban muncul dalam bentuk pencapaian. Banyak yang hadir sebagai perasaan—lelah, syukur, kecewa, harapan, dan doa yang terus dipanjatkan. Dalam psikologi, refleksi bukan sekadar mengingat peristiwa, tetapi memaknai pengalaman agar kita dapat melangkah dengan lebih sadar di tahun berikutnya. 1. Mengenali Emosi Tanpa Menghakimi Psikologi emosi menjelaskan bahwa emosi bukan musuh yang harus ditekan, melainkan sinyal yang membawa pesan. Menurut Emotion Regulation Theory (Gross, 1998), masalah psikologis sering muncul bukan karena emosi negatif itu sendiri, tetapi karena cara kita merespons emosi tersebut. Di akhir tahun, wajar jika muncul perasaan campur aduk. Alih-alih menilai diri sebagai “kurang bersyukur” atau “tidak cukup kuat”, psikologi mengajak kita untuk bertanya: emosi apa yang ...
Sebuah Kritik Humanistik terhadap Pendekatan yang Terlalu Rasional Di era digital sekarang, pencari kerja tidak hanya diminta untuk mengirim CV dan menunggu. Mereka diharapkan aktif , terus belajar, membangun jaringan, dan memahami strategi pasar kerja. Inilah konsep besar dari Knowledge Management (KM) : bagaimana seseorang menciptakan, menyimpan, berbagi, dan menerapkan pengetahuan untuk meraih peluang yang lebih baik. Secara teori, logikanya sederhana: “Semakin banyak pengetahuan, semakin besar peluang sukses.” Namun, apakah benar seperti itu? Saya berargumen: tidak selalu . Pengetahuan memang bisa memberdayakan pencari kerja— tapi hanya jika diolah dengan sehat secara emosional . Bila tidak, pengetahuan justru berubah menjadi tekanan baru: ❌ merasa harus selalu produktif ❌ membandingkan diri dengan orang lain di LinkedIn ❌ cemas karena “kurang kompeten” meskipun sudah belajar banyak ❌ burnout dalam proses mencari kerja Jadi masalahnya bukan pada pengetahuannya… tetapi pada baga...
Pertanyaan yang selalu datang kepada adik-adik yang duduk di bangku sekolah, khususnya di SMA dan sederajat adalah jurusan apa yang akan dipilih setelah menyelesaikan masa sekolahnya. Beruntung bagi mereka yang sekolah di perkotaan, mendapatkan keputusan dengan adanya bantuan psikotest yang sering sekali diadakan di sekolah masing-masing. Atau adanya orang tua yang mampu memfasilitasi mereka bertemu dengan para psikolog untuk mengetahui bakat dan minat mereka. Lalu bagaimana dengan adik-adik yang kerap sekali tidak mendapatkan refrensi di dalam mengambil keputusan ini? Adik-adik tidak sendirian. Saya juga pernah ada di posisi itu sekitar 10 tahun yang lalu. Kebingungan dan nyaris tersesat di dalam memutuskan pilihan jurusan. Berikut adalah beberapa tips berdasarkan pengalaman saya yang semoga bisa membantu adik-adik semua di dalam memilih jurusan yang akan dipilih untuk didalami nantinya setelah menyelesaikan masa SMA sederajat. Kenali kondisi per...
Comments
Post a Comment