Sudah tidak asing lagi bagi kita
bahwa pendidikan pertama yang didapatkan manusia adalah di lingkungan rumah. Di
rumah, pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang lebih dikenal dengan
keluarga inti. Ada kalanya di dalam sebuah rumah terdapat nenek, kakak, om,
tante atau mungkin pembantu
bagi keluarga yang ada di kota besar, misalnya di Jakarta.
Saya pernah menjadi seorang konselor mahasiswa di sebuah universitas swasta di Jakarta. Masalah utama
yang paling sering saya temukan pada
mahasiswa yang saya konselingkan adalah hubungan antar personil keluarga inti, hubungan antara orang tua dan anak,
anak dengan saudara kandung. Dimana akar dari permasalahan itu adalah minimnya
komunikasi yang diakibatkan kesibukan orang tua. Orang tua lebih mempercayakan keseharian
anak-anak mereka dengan manusia dewasa lain, misalnya pembantu. Hal ini
mengakibatkan banyak anak-anak yang akhirnya tumbuh besar dengan kesepian. Mereka
pun mengusir kesepian yang mereka rasakan
dengan lebih menyayangi alat teknologinya (laptop, handphone,Tab,
dsb) dibandingkan dengan orang tua dan atau saudara kandung. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh dalam
kemampuan mereka untuk membina hubungan dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka tidak memiliki kepekaan terhadap
pengalaman negatif orang lain, egois, anarkis, dan antisosial.
Saya memulai tulisan ini dengan kasus di atas karena masalah utama dari
setiap anak yang nantinya akan menjadi anggota masyarakat dan anggota gereja
adalah diawali dari pengalamannya dengan orang dewasa yang ada dalam
tahun-tahun pertama hidupnya, dimana mereka itu biasanya adalah orang tua
maupun saudara kandung yang mereka temukan dalam lingkungan rumah. Mereka
inilah yang menjadi jemaat gereja, dan yang nantinya menjadi tokoh utama dalam
pemberdayaan masyarakat, yang merupakan topik dari yang kegiatan ini. Jadi, bukan
tidak mungkin apa yang terjadi dengan mahasiswa yang pernah saya konselingkan
juga dialami oleh keluarga Batak Kristen. Oleh karena itu saya akan mengawalinya dari keluarga.
Di dunia psikologi, ketika seorang psikolog hendak melakukan analisa
kepribadian kepada kliennya, hubungan klien dengan orang tua, saudara kandung, atau orang dewasa yang tinggal bersama dengan dia di
rumah akan menjadi pembahasan utama. Dalam kehidupan kekristenan pun Tuhan
hadir memperkenalkan diri kepada manusia sebagai Bapa dan atau sebagai mempelai
laki-laki. Peran yang diambil oleh Tuhan adalah peran yang sama seperti
pemahaman kita mengenai keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Tidak bisa
dipungkiri, persepsi seorang anak terhadap Tuhan, bisa jadi dipengaruhi oleh
hubungannya terhadap orang tuanya. Mayoritas anak akan menganalogikan Bapa
Surgawi itu seperti Bapa yang dia lihat di rumah. Hal inilah (mungkin) cikal bakal
lahirnya pernyataan di tengah-tengah masyarakat Batak, “natuatuami do Debata na tarida”.
Dari lingkungan gereja, kita
berangkat ke kehidupan bermasyarakat, mari kita singgah sebentar ke dunia
bisnis. Di dunia bisnis, juga berlaku peran yang sama, HRD dianalogikan sebagai
“ibu perusahaan”. Perusahaan-perusahaan mengeluarkan dana yang tidak sedikit
hanya untuk menciptakan suasana rumah di kantor maupun di jasa yang mereka
perjualbelikan.
Orang-orang yang bergelut di dunia bisnis khususnya marketing mungkin
memahami hal ini, bahwa mereka selalu berusaha menawarkan jasa yang memiliki suasana
kekeluargaan. Sebagai contoh berbagai
macam hotel dikonsepkan dengan suasana rumah, tempat makan dengan suasana rumah, bahkan facebook yang merupakan
jejaring sosial yang paling trend di era ini - pertama kali dibuat oleh Mark Zuckrberg (penemu facebook) untuk mempermudah dia
berkomunikasi dengan orang tuanya dimana saat itu dia kuliah di Universitas
Harvard dan tinggal di asrama yang mengakibatkan dia jauh dari rumah.
Dari dunia bisnis, kita bergerak ke
dunia politik. Apabila kita perhatikan, Barack Obama dalam masa kampanyenya
menuju Gedung Putih juga mencitrakan dirinya dalam suasana kekeluargaan yang
hangat dan harmonis. Langkah tim sukses Obama ini juga ditiru oleh SBY yang
membawa dia ke Istana Negara selama delapan tahun. Semua orang di dunia ini merindukan rumah dan
sangat menikmati segala sesuatu yang berhungan dengan nuansa rumah.
Tidak jauh berbeda dengan kedua pemimpin sebelumnya, Jokowi sebagai Bupati
terbaik di Indonesia juga melakukan hal yang sama, yaitu memperkenalkan rumah
yang layak bagi masyarakat kaum marginal.
Dari berbagai aspek kehidupuan
di atas, kita bisa melihat betapa rumah dan isinya adalah sebuah
fenomena yang sangat menarik untuk ditilik. Rumah memiliki banyak makna baik
tersirat maupun tertulis. Oleh
karena itulah dalam setiap pemberkatan pernikahan, ketika dua pasang
manusia berkomitmen untuk membina sebuah rumah tangga mereka harus melalui
berbagai tahap. Pernikahan menjadi
sesuatu yang sakral bagi setiap manusia, karena melalui pernikahanlah sebuah
generasi baru secara sah akan dibentuk. Akan tetapi, tahapan yang seharusnya dilalui oleh setiap orang
yang akan menikah ini biasanya
banyak dilupakan, bahkan berbagai
pemberkatan yang terjadi di gereja bukan hal yang sakral lagi, khususnya bagi
kehidupan kita sebagai orang Batak Kristen. Mengapa saya katakan tidak sakral
lagi, karena :
1. Dari
begitu banyak acara pemberkatan pernikahan Batak Kristen yang saya ikuti,
jumlah undangan yang hadir di gereja selalu jauh lebih sedikit dari jumlah
undangan yang hadir dalam acara adat ataupun resepsi.
2. Pasangan
pengantin juga lebih sering mengeluarkan air mata ketika acara adat berlangsung
(mangalean ulos hela) daripada saat
mengucapkan janji di gereja.
3. Tidak
adanya persiapan yang matang dari setiap orang yang terlibat dalam pernikahan.
Orang tua calon pengantin Batak Kristen jauh lebih memfokuskan perhatian
terhadap adat semetara pengantin lebih memfokuskan ke hal teknis, misalnya
model kebaya, tata rias pengantin, konsep resepsi, dan sebagainya.
4.
Bagi
para orang tua, kemapanan dalam hal materi adalah menjadi syarat utama
untuk membina sebuah rumah tangga. Dan apabila ada dewasa muda yang telah mapan
secara ekonomi belum menikah akan dicurigai memiliki penyimpangan seksualitas atau proses perjodohan pun akan
berlangsung.
Alhasil apa yang terjadi? Banyak pengantin
muda yang akhirnya tidak memiliki komitmen sebesar komitmen para orang tua
dalam mempertahankan pernikahannya. Bertengkar, kekerasan dalam rumah tangga,
tidak mampu mengurus rumah tangga tanpa kehadiran pembantu, dan akhirnya
perceraian. Para pengantin muda pun gagal dalam membawa anak-anak mereka ke
gereja. Mari kita survey jemaat HKBP sekarang, ada berapa banyak di antara kita
yang memperkenalkan HKBP, memperkenalkan buku ende atau bibel kepada generasi
muda? Dari setiap ibadah gereja HKBP bahasa Batak, bisa dihitung jumlah
generasi muda yang hadir disana. Mayoritas gereja HKBP tidak memiliki generasi
muda yang sanggup untuk melanjutkan perjuangan para orang tua untuk tetap
meneruskan liturgi HKBP. Kendala bahasa menjadi alasan. Mengapa para generasi
muda tidak memahami bahasa batak? Berarti ada yang kurang dari pola asuh yang
disosialisasikan kepada generasi muda di dalam rumah.
Pengalaman saya ketika bergaul dengan
generasi muda yang ada di gereja HKBP adalah bahwa mereka sangat bangga dengan
ketidakberdayaan mereka dalam bahasa Batak. Mereka mentolerin kekurangan itu
dengan alasan mereka tidak lahir dan besar di kampung. Terkadang, saya suka
memberikan respon kepada mereka dengan mengatakan, saya tidak lahir di Inggris, tapi saya bisa memahami bahasa Inggris.
Orang tua saya juga tidak pernah dan bahkan tidak mengerti sama sekali bahasa
Inggris. Saya pertama kali belajar bahasa Inggris di kelas lima SD, sekali
seminggu di sekolah saja
dengan durasi 90 menit.
Dari hasil observasi saya terhadap
kehidupan jemaat HKBP di Jabodetabek, bahwa generasi muda sekarang adalah generasi manja. Mengapa kami bisa
manja, karena begitulah orang tua kami mengasuh kami. Walaupun orang tua kami
menyadari bahwa mereka bisa menjadi seperti sekarang ini (survive di Jakarta), akan tetapi mereka tidak mensosialisasikan hal
itu dengan baik kepada generasi muda. Banyak orang tua yang berpendapat bahwa “saya telah mengalami hal yang susah dalam
kehidupan ini, maka saya akan berusaha agar anak-anak saya tidak akan pernah mengalami penderitaan
lagi.” Para orang
tua banyak yang melupakan atau
mungkin tidak mau tahu bahwa
penderitaanlah yang membuat mereka kuat dan survival.
Orang tua hanya fokus melihat hal negatif dari penderitaan itu. Bahkan
Paulus sendiri dalam suratnya ke jemaat di Korintus mengatakan bahwa dalam
kelemahannyalah, nama Tuhan dinyatakan.
Orang
tua terlalu menyayangi anak-anak
dengan cara yang salah sehingga
mereka lupa bahwa secara sengaja mereka telah memberikan “racun” bagi gerenasi
muda. Di beberapa keluarga,
saya menemukan banyak orang tua yang lebih bangga anak-anak mereka pintar
secara akademis, fasih berbahasa Inggris, akan tetapi tidak memiliki kemampuan
untuk hidup mandiri, bahkan ketika ditinggal orang tua di rumah hanya sehari
saja, sudah seperti itik kehilangan induk. Dari hasil obeservasi saya juga,
banyak orang Batak yang telah sukses, menjadi profesor, pengusaha sukses, akan
tetapi anak-anak mereka menjadi anak-anak manja dan selamanya selalu bergantung
kepada mereka. Sangat sedikit saya lihat orang Batak yang sukses di Indonesia
ini, juga sukses dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka bisa menjadi seorang
pemimpin di kantor, tegas, tapi tidak untuk anak-anak mereka.
Lalu untuk semua kegagalan orang
tua dalam mensosialisasikan yang
baik itu kepada generasi muda, lahirlah tindakan untuk mencari kambing hitam. Menyalahkan
anak-anak yang sulit diatur, guru yang tidak mampu melakukan perannya, menyalahkan pendeta, dan bahkan
pemerintah. Anak-anak tawuran, membangkak, tidak mau diajak beribadah, merokok,
tidak mau belajar budaya Batak, dan bahkan setelah menjadi dewasa muda menjadi
para koruptor dan cinta uang. Kita lupa untuk mengkritisi diri sendiri,
mengenai apa yang telah dan tidak kita lakukan.
Misalnya,
kita mengkritisi para pendeta, tidak
puas dengan pelayan pendeta. Sekarang, mari kita mulai intropeksi diri.
Tahukah kita siapa pendeta itu? Semoga saya salah, tapi dalam kehidupan
sehari-hari, banyak saya temukan bahwa mereka yang menjadi pendeta HKBP itu
adalah mereka yang tidak berprestasi di sekolah, yang memiliki catatan buruk di
rumah, dimana orang tua sudah menyerah dalam membinanya. Sementara anak-anak
Batak yang berprestasi kemana? Orang tua Batak akan memaksakannya untuk masuk
Perguruan Tinggi, memilih jurusan kedokteran, hukum, teknik dan sebagainya.
Saya bukannya ingin menklasifikasikan mereka yang tidak berprestasi di sekolah.
Akan tetapi, jikalau kita menginginkan pendeta dengan pelayanan yang memuaskan
mengapa kita tidak mempersiapkan anak-anak kita untuk menjadi seperti itu?
Abraham memberikan anak satu-satunya untuk Tuhan, bukan anak yang dia tidak
mampu bina atau bukan anak yang sering
sekali memberikan kekecewaan.
Apakah kita menyadari bahwa pendeta itu
adalah seorang anak di dalam keluarga? Bisa jadi kitalah orang tua yang telah melahirkan dan mengasuh mereka.
Mengapa mereka tidak bisa melakukan peran dan fungsinya dengan baik, tentu saja
karena kita sebagai orang tua telah gagal memberikan contoh yang baik kepada
mereka. Anak-anak yang sekarang Tuhan titipkan kepada kita juga memiliki
peluang untuk menjadi sampah masyarakat, koruptor, dan mungkin teroris jikalau
kita tidak mempersiapkan diri dengan secara mental, psikologis, dan iman di dalam
memulai sebuah keluarga.
Dari
hasil pengamatan saya juga, saya memberikan kesimpulan bahwa Indonesia menjadi
salah satu Negara terkorup, keterlibatan orang Batak di dalamnya sekitar 70 % . Orang Bataklah banyak menyumbang kekacauan perekonomian di Negara kita ini. Mari kita lihat para pengacara Batak, beberapa kali memutarbalikkan fakta, yang salah menjadi
benar yang mengakibatkan Negara rugi milyaran rupiah dalam usahanya membela
para koruptor. Mengapa mereka bisa menjadi seperti itu? Karena pola asuh yang
kita terima di rumah, hidup untuk uang. Orang tua membiayai study anak-anaknya
tujuannya hanya satu, agar mendapatkan uang yang banyak nantinya saat dia telah
lulus kuliah. Sangat jarang diantara orang tua sekarang yang menyekolahkan
anaknya hanya untuk agar anaknya bisa menjadi manusia. Hal ini terdoktrin di
hati setiap anak, yang akhirnya menghalalkan segala cara untuk membahagiakan
orang tua, yaitu mengumpulkan uang yang banyak. Korupsi, mencuri, dan menipu
pun dilakukan.
Beberapa teman-teman saya memiliki
impian untuk menjadi seorang ibu dan menjadi seorang ayah. Ketika saya tanyakan
kepada mereka, apa yang kamu bayangkan ketika kamu menjadi seorang ibu atau
ayah. Jawaban mereka adalah memiliki anak. Bagaimana hubunganmu dengan anakmu
suatu hari nanti dalam bayanganmu itu? Mereka pun menjawab semuanya akan
berjalan dengan apa adanya. Mereka tidak bisa memaparkan hubungan mereka dengan
calon anak-anak mereka nantinya. Bagi mereka, menikah dan memiliki anak itu
sudah cukup. Tidak ada pemikiran, hendak memberikan pola asuh seperti apakah
nantinya kepada anaknya? Teman-temanku yakin bahwa semua itu akan didapatkan
seiring dengan berjalannya waktu. Dalam bahasa Batak dikatakan tupa disi do i sude. Perbincangan yang sama juga setali tiga uang
terjadi di antara anak yang sudah mapan secara materi dengan orang tua mereka.
Orang tua akan memaksakan anak-anak mereka untuk menikah, bagi mereka, mereka
akan telah bisa berpulang ke rumah Bapa apabila semua anak-anaknya telah
menikah. Saya tidak mengatakan hal itu salah. Setiap orang berhak memiliki
impian, akan tetapi akan lebih baik apabila impian itu juga didukung dengan keinginan untuk
mempersiapkan setiap anak melahirkan anak-anak yang bisa diharapkan. Seperti
kata Mak Gondut dalam film Demi Ucok, “Hidup
itu untuk sesama, baru berarti.” Tidak cukup menikah dan punya anak atau memaksakan anak-anaknya untuk menikah tanpa
memberikan pelatihan mengenai kehidupan pernikahan tapi juga harus bisa
melahirkan anak-anak yang nantinya mampu berperan positif di tengah-tengah
masyarakat. Kalau toh, mau melahirkan manusia yang tidak berkepribadian baik,
untuk apa? Dunia ini sudah terlalu sesak dengan manusia-manusia seperti itu.
Kalaupun orang tua atau orang yang dituakan tidak bisa dijadikan panutan,
banyak media yang bisa dipergunakan untuk menggali informasi. Asalkan kita
memiliki niat dan visi misi dalam hidup, bahwa kita tidak mau pernikahan kita
hanyalah sekedar status di KTP atau ajang gengsi-gengsian di kehidupan sosial.
Akan lebih baik bagi para calon pengantin muda, untuk menghabiskan waktu lebih
banyak dengan mempersiapkan mental, wawasan, psikologis sebelum mengubah status
kehidupan. Kalau kita bisa menghabiskan waktu untuk melakukan penelitian
kecil-kecilan mengenai design kebaya, konsep pernikahan, gedung, dan
sebagainya, hal yang sama juga perlu kita lakukan untuk belajar mengenai
dinamika pernikahan. Waktu untuk mempersiapkan hal-hal teknis sebaiknya
dikurangi yang hanya akan berlangsung paling lama 24 jam. Sementara selesai
pemberkatan, resepsi, kita tidak mempersiapkan mental untuk itu. Tenaga kita
lebih terkuras selama berbulan-bulan hanya untuk mempersiapkan resepsi yang
hanya untuk satu hari. Saya bukannya anti dengan perayaan, akan tetapi jangan sampai
kita lebih memberikan perhatian kita kepada hal-hal yang sifatnya lebih
sementara atau hanya pencitraan saja sampai kita lupa makna dari pernikahan itu sendiri.
Lalu langkah-langkah apa sajakah yang bisa kita lakukan dalam memanusiakan
manusia, khususnya jemaat HKBP yang nantinya akan menjadi anak panah gereja
dalam memberdayakan masyarakat melalui pendidikan :
1.
Kesiapan
mental, psikologis, dan iman setiap pasangan yang ingin menikah sebaiknya lebih
diasah lagi. Kemapan secara ekonomi bukan menjadi tiket emas untuk memasuki
bahtera rumah tangga. Hal ini bisa dilakukan dengan adanya konseling
pra-nikah minimal tiga bulan sebelum pernikahan di setiap gereja HKBP. Dan yang
melakukan konseling sebaiknya adalah mereka yang memiliki pengetahuan
konseling.
2.
Follow – up dari orang tua, jemaat, pendeta dalam membantu
pasangan ketika memasuki bahtera rumah tangga tersebut. Pekerjaan pendeta tidak
selesai sampai di pemberkatan. Pendeta dan sintua harus tetap memperhatikan
kebutuhan para pasangan muda dalam mengkayuh perahu rumah tangga. Misalnya
dengan membuka Focus Group Discussion (FGD) di gereja. Sementara orang tua
harus memberikan kepercayaan bahwa anak-anak mereka telah tumbuh dewasa sama
seperti mereka. Anak-anak mereka bukan anak-anak lagi, oleh karena itu
mencampuri rumah tangga mereka adalah tindakan yang tidak efesien, tetapi
jadilah sama-sama duduk dan berdiri sebagai sesama orang dewasa. Hal ini
bisa dilakukan dengan memberikan kepercayaan kepada anak bahwa mereka harus
bisa mengatasi setiap masalah yang ada dalam hidupnya. Komunikasi dalam keluarga
sebaiknya lebih ditingkatkan. Misalnya
setiap orang yang ada di rumah wajib
memberikan salam kepada orang yang ada di rumah setiap kali hendak meninggalkan
rumah ataupun telah tiba di rumah. Di samping itu, orang tua juga perlu
memperkenalkan sejak dini mengenai uang dan cara mengelolahnya, mengenal
konflik dan cara menyikapinya, termasuk belajar untuk menerima kegagalan tanpa
harus menjadi stres.
3.
Program-program
di gereja semakin ditingkatkan untuk semua tahap kehidupan dan antar tahap
kehidupan saling membantu. Perkembangan iman anak sekolah minggu bukan hanya
tanggung jawab guru sekolah minggu, akan tetapi tanggung jawab semua jemaat
yang ada di dalam gereja. Demikian halnya dengan komunitas lansia, bukan hanya
tugas pendeta atau sintua, tetapi anak-anak sekolah minggu juga bisa dilibatkan
untuk memberikan perhatian kepada para lansia. Contoh kegiatan yang bisa
dilakukan misalnya, setiap lansia diwajibkan untuk mendongeng di ibadah sekolah
minggu secara bergantian. Anak sekolah minggu setiap tahun diajak untuk membuat
kartu natal atau kartu ulang tahun kepada setiap kaum lansia yang ada di gereja
dan mengantarnya langsung ke rumah lansia, syaratnya lansia yang akan diberikan
bukan nenek atau kakek kandung dari anak sekolah minggu. Setiap minggu pertama,
para naposo dan remaja manortor atau menyanyikan lagu Batak di depan gereja
setelah ibadah bahasa Batak. Jadi, jemaat memiliki kesempatan untuk mengeksplor
budaya Batak dan silahturahmi antar jemaat terjalin sambil menikmati aksi
naposo dan remaja.
Aksi ini pastinya membutuhkan latihan, jadi para naposo dan remaja tidak
melulu ke gereja untuk belajar Alkitab melainkan juga dapat mengembangkan bakat
dan talenta mereka. Sebaiknya semua hobby naposo dan remaja didata kembali
untuk bisa dikembangkan.
4.
Berhenti
untuk mencari kambing hitam. Bukan salah pendeta, bukan salah sintua, bukan
salah naposo, tapi salah kita semua. Oleh karena itu, mari kita memulai dengan
melakukan peran kita masing-masing dengan lebih baik. Kalau di kantor kita bisa
selalu berusaha untuk bersikap profesional, di rumah dan di gereja pun kita
harus berusaha untuk profesional dalam iman. Sikap keprofesionalan itu hanya
akan bisa ditiru oleh anak-anak kalau kita semua yang telah memiliki pemikiran
atau dalam bahasa Batak angka naung
marroha, sudah saatnya bangun dari tidur dan membenahi diri untuk bisa
menjadi terang dan garam.
Di
samping pendidikan non formal yang telah saya sebutkan di atas, pendidikan
formal anak juga perlu menjadi perhatian kita. Biar bagaimana pun, gelar akademis masih tetap menjadi impian setiap orang
tua Batak terhadap anak-anaknya. Tentu saja hal ini tidak terjadi begitu saja. Keterlibatan
orang tua dalam pendidikan formal anak bisa dimulai dari penelitian
kecil-kecilan mengenai sekolah yang sesuai dengan anak. Jarak antara sekolah
dan rumah dan budaya di sekolah itu (apakah sekolah berbasis Internasional,
sekolah homegen baik dari agama, latar belakang suku, maupun tingkat sosial)
perlu menjadi pertimbangan dalam memilih sekolah. Kita juga perlu memperhatikan
keadaan psikologis anak ketika kita memilih sekolah. Hal ini tidak perlu harus
konseling ke psikolog, kita adalah orang tua mereka, sedikit banyak kita lebih
mengenal kepribadian anak-anak kita, asalkan kita bisa objektif terhadap
keadaan anak-anak yang Tuhan berikan kepada kita. Rasa gengsi dan ego yang berlebihan
orang tua terhadap anak sebaiknya perlu diminimalisir agar tidak terjadi
perdebatan yang pada akhirnya menimbulkan luka di hati anak sehingga anak tidak
bisa berprestasi dengan baik di sekolah.
Berikut
adalah langkah-langkah konkrit yang bisa menjadi bahan pertimbangan untuk para
orang tua di dalam memilih sekolah
formal.
1.
Anak 4-5 tahun, apabila orang tua masih
memungkinkan memiliki waktu yang banyak di rumah dengan kata lain suami-istri
tidak bekerja, pendidikan formal anak bisa dimulai dengan mengikutertakan anak
dalam Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pilihlah Program PAUD yang
jaraknya dekat dengan rumah anda, sehingga tidak membebani anak dengan jarak
tempuh yang jauh. Anak-anak biasanya akan cepat bosan di perjalanan apabila
jarak tempuh antara tempat program PAUD dan rumah jauh. Karakteristik anak-anak
yang mengikuti program PAUD juga bisa menjadi pertimbangan untuk orang tua
dalam mengawali karir anak di pendidikan formal. Mungkin anda menginginkan anak
anda diajari dalam lingkungan agama tertentu atau agama yang heterogen juga
tidak apa-apa. Akan tetapi jauh lebih baik apabila anak anda sejak dini telah
diperkenalkan ke dalam komunitas yang memiliki perbedaan untuk membantu dia
dalam bertoleransi antar umat beragama maupun ras serta strata sosial.
2.
Apabila Anda memiliki materi yang cukup, Taman
Kanak-kanan menjadi pilihan yang tepat dalam memberikan stimulus mengenai dunia
belajar terhadap anak-anak. Selain anak Anda belajar untuk bangun pagi, anak
Anda juga bisa belajar untuk mulai mengenal lingkungan yang lebih luas,
misalnya arah, bentuk, warna, dan angka. Program yang ditawarkan oleh sekolah
TK yang nantinya akan Anda pilih tentunya harus menjadi syarat utama. Jangan
sampai niat Anda dalam memperkenalkan dunia sekolah kepada anak Anda membuat
dia trauma dengan beban sekolah yang memberatkan dia. Tapi, bukan berarti juga Anda menjadi orang tua lemah
dan tidak tegas yang tidak bersedia melihat anak Anda memiliki tanggung jawab.
Sekolah TK adalah langkah awal untuk memperkenalkan tanggung jawab dan komitmen
terhadap anak. Kita orang tua harus menyadari bahwa tahap ini bukanlah tahap
yang mudah untuk dijalani oleh anak-anak kita. Banyak anak-anak akan merasa
cemas dan takut di tahap ini. Peran orang tua adalah mendampingi mereka dengan
memberikan kepercayaan bahwa dia tidak sendirian, ada Anda yang akan
bersama-sama dengan dia dalam menjalaninya.
Jika
Anda adalah orang tua yang sangat sibuk dan memiliki materi yang cukup, dimana dalam
kesehariannya anak Anda akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan pembantu,
mengikutsertakan anak dalam les musik, olah raga atau les tari adalah pilihan
yang baik. Asalkan dalam pemilihan
kegiatan ini, orang tua tetap fokus terhadap kebutuhan anak, bukan sebagai
proyeksi demi terlaksananya obsesi Anda yang tertunda atau gengsi terhadap
masyarakat.
Sementara apabila keuangan Anda tidak
mencukupi untuk memasukkan anak Anda ke TK, jangan patah hati. Anda bisa
mendampingi anak Anda dalam proses pembelajaran ini. Yang anda butuhkan
hanyalah hati yang bersedia menjadi fasilitator bagi anak Anda. Banyak media
yang bisa membantu Anda dalam memberikan stimulus kepada anak Anda, misalnya
majalah, koran, internet, dan buku.
3.
Memasuki dunia SD, anak-anak sudah mulai
memiliki bayangan mengenai dunia sekolah walaupun ketakutan dan kecemasan
mereka masih menguasai mereka. Pendampingan orang tua masih sangat dibutuhkan
dalam tahap ini, khususnya di tahun-tahun pertama dia masuk SD. Akan lebih baik
jikalau orang tua tidak memberikan tuntutan yang berlebihan terhadap anak,
misalnya menuntut anak untuk juara satu di kelas. Orang tua bisa memberikan
standar kepada anak sesuai dengan hasil observasi orang tua terhadap anak mengenai
keadaan anak.
4.
Di
bangku SMP dan SMA adalah masa yang paling rawan kepada anak-anak kita. Tahap
inilah mereka mulai mengalami pubertas dan mengharapkan pengakuan bahwa mereka
telah dewasa. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam memilih sekolah formal kepada
anak Anda adalah menanyakan pendapatnya dan membandingkannya dengan kemampuan
si anak. Ingat, kebutuhan anak Andalah yang paling penting, bukan rasa gengsi
Anda.
Saya tahu menjadi manusia bukanlah hal
yang mudah. Ketidaksempurnaan kita menjadi manusia akan selalu memberikan warna
bagi kehidupan kita. Peran orang tua, anak, pendeta, guru, dosen, dan apapun
itu akan selalu dikritisi dan dituntut untuk memberikan yang terbaik. Walaupun
kita tahu bahwa betapa tidak menyenangkannya menjadi orang yang dikritisi atau
dituntut tapi ada kalanya kita juga melakukan hal itu kepada manusia yang lain.
Itu karena kita adalah manusia berdosa, kita membutuhkan Tuhan dalam kehidupan
kita. Dan Tuhan, tidak menampakkan diri secara langsung lagi seperti di
Perjanjian Lama, melainkan dalam berbagai bentuk dan keadaan. Seperti anak
kecil yang ketakutan memulai hari pertama sekolah, seperti itulah keadaan
manusia yang selalu ketakutan dalam menjalani hari-harinya. Karena kita semua
berada pada posisi yang sama, marilah kita bersama-sama untuk melewatinya
dengan menciptakan karya yang bisa mengusir rasa takut atau perasaan negatif
lainnya. Akan selalu ada konflik, itu bagus, tapi jangan menghindar. Hanya
dengan konfliklah kita tahu dimana posisi dan peran kita masing-masing, karena
itu mari kita jadikan konflik itu untuk memberdayakan apa yang telah Tuhan
berikan kepada kita.
Orang Batak Toba terkenal di Indonesia
karena kemauan yang kuat dalam hal pendidikan. Mari kita tingkatkan kembali
identitas kita itu dengan berkarya bagi sesama.
Sebelum menutup tulisan ini, saya meminta kepada setiap orang yang hadir di
sini untuk menuliskan dalam selembar kerta, apakah yang bisa Anda berikan
kepada masyarakat? Silahkan tulis nama dan nomor yang bisa dihubungi, kita yang
ada disini sama-sama ingin berkomitmen untuk berpantang mati sebelum berkarya.